Kamis, 02 April 2020

PERTANIAN CERDAS IKLIM (CLIMATE-SMART AGRICULTURE) DAN SLI OPERASIONAL BMKG

Gambar 1. 3 tujuan Climate Smart Agriculture (CSA)

Pendahuluan
Climate Smart Agriculture (CSA) di Indonesia yang bekerjasama dengan The International Center for Tropical Agriculture (CIAT), tetap berjalan saat pandemi COVID-19 kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Dr. Fadjry Djufry di Bogor pada Senin (23/3/2020). Kerja sama di tahun lalu ini merupakan bagian upaya Indonesia menjelaskan kepada dunia praktek tradisional Indonesia (traditional knowledge) terkait praktek pertanian cerdas iklim. COVID-19 juga merupakan ancaman terbesar bagi ketahanan pangan. Pandemi dapat menjadi berdampak luar biasa. Para ahli di dunia telah mengusulkan teknologi CSA untuk meningkatkan adaptasi petani dan mempertahankan produktivitas. Mekanisasi penanaman tanaman pangan dan diversifikasi tanaman, dengan menggantikan tanaman alternatif yang lebih CSA dapat menjadi bantuan bagi petani menghadapi tuntutan keterbatasan dalam COVID-19.
Perubahan iklim, kenaikan variabilitas, peningkatan hujan dan seringnya cuaca ekstrem
Perubahan iklim merupakan fenomena berubahnya parameter parameter iklim sebagai dampak dari peningkatan suhu global (pemanasan global) (BMKG, 2014). Perubahan iklim telah menghambat sektor pertanian dengan memberikan dampak yang besar terhadap seluruh dimensi ketahanan pangan. Menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) perubahan iklim telah mempengaruhi produksi tanaman di seluruh wilayah di dunia, lebih besar dampak negatifnya daripada positif. Di negara berkembang sangat rentan terhadap dampak negatif yang lebih lanjut. Peningkatan kejadian cuaca ekstrem seperti halnya : kekeringan, hujan yang lebat, banjir dan suhu maksimum yang tinggi telah terjadi dan lebih meningkat di banyak daerah. Suhu maksimum rata-rata dan musiman diproyeksikan akan terus meningkat diiringi dengan curah hujan yang lebih tinggi (walaupun efeknya tidak terdistribusi secara merata). Perubahan pola hujan tersebut akan berakibat perubahan awal dan panjang musim. (Rosenstock, 2019; Lipper et al., 2014). 

Gambar 2. Variabilitas dan peluang kejadian cuaca ekstrem

Kenaikan variabilitas iklim menjelaskan tentang kondisi iklim pada periode jangka pendek maupun jangka panjang diantaranya curah hujan. Laporan dari IPCC tahun 2008 memprakirakan perubahan iklim pada abad mendatang akan mempengaruhi pola hujan, aliran sungai dan permukaan laut di seluruh dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi pertanian akan sangat terpengaruh selama 100 tahun ke depan karena adanya tingkat perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sistem iklim. Selain itu, survei terhadap 139 Badan Meteorologi dan Hidrologi Nasional dan data hasil analisis sosial-ekonomi dari beberapa badan serta mitra PBB yang dilakukan oleh WMO menyimpulkan bahwa kejadian "banjir" adalah peristiwa ekstrem yang paling sering dialami selama dekade ini. 

Peningkatan konsentrasi GRK dan peningkatan suhu global

Terjadinya percepatan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer merupakan penyebab utama perubahan iklim (dapat dilihat kenaikan rata-rata suhu global  sejak tahun 1850, Gambar 3). Sejak era revolusi industri atau pertengahan abad ke-19, telah terjadi peningkatan suhu bumi akibat meningkatnya kegiatan industri yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Laporan IPCC (2007) menyebutkan pertumbuhan GRK terjadi antara tahun 1970 - 2004, dengan adanya peningkatan 145% dari sektor energi, 120% dari transportasi, 65% dari industri, 40% dari perubahan tata guna lahan, sehingga selama periode ini meningkat sebesar 69%. Suhu permukaan global meningkat sebesar 0,74 ± 0,32 °C selama 100 tahun terakhir (Gambar 4). Sejak pertengahan abad ke-20 konsentrasi GRK meningkat tajam akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi (Gambar 4). Menurut WMO (2013), dunia telah mengalami dampak tertinggi iklim ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada dekade 2001 - 2010 yang merupakan dekade lebih panas sejak dimulainya observasi secara modern tahun 1850. Menurut WMO (2021), dekade 2011 - 2020 terpanas dengan suhu rata-rata global mencapai 1,1 °C di atas masa Pra-Industri, pada tahun 2019. Tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan anomali sebesar 0,7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0,6 °C. WMO menempatkan tahun 2016 sebagai tahun pertama tahun terpanas yang pernah terjadi (Gambar 3). Pemanasan global yang disebabkan manusia saat ini meningkat dengan laju 0,2°C per dekade.  


Gambar 3. 10 tahun terpanas dalam sejarah

Sumber : https://medialibrary.climatecentral.org/resources/2020-in-review-global-temperature-rankings

Proyeksi perubahan iklim yang disampaikan oleh Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG (Gambar 5) melakukan pengolahan, pemodelan, dan analisa untuk menghasilkan produk berupa analisa proyeksi perubahan iklim di masa yang akan datang. Informasi berupa data dan peta spasial dari proyeksi perubahan parameter suhu dan curah hujan untuk seluruh wilayah Indonesia dengan resolusi menengah sekitar 20 km, resolusi tinggi sekitar 5 km, menggunakan skenario IPCC RCP4.5 yang merupakan hasil simulasi model iklim regional pada rentang tahun 2006 sampai 2040 serta pembagian pada periode current (2006-2014), dan periode future (2032-2040). Informasi disediakan dalam bentuk peta yang merupakan anomali / difference dari nilai komposit antar periode (2006-2014 dan 2032-2040). Hasil proyeksi menunjukkan secara umum perubahan suhu yang makin meningkat pada tahun 2032 - 2040 dibandingkan 2006-2014 di Indonesia. Terlihat signifikan peningkatan suhu di Kalimantan, sebagian Sumatera, sebagian besar Jawa dan juga sebagian besar Sulawesi. 


Gambar 4. Peningkatan suhu global


Gambar 4 bagian atas menunjukkan pola tren suhu global secara linier selama periode 1979 hingga tahun 2005, yang diprakirakan di permukaan bumi (kiri) dan di troposfer melalui satelit (kanan). Bagian yang abu-abu menunjukkan menunjukkan area dengan data yang tidak lengkap. Bagian bawah menunjukkan suhu rata-rata global tahunan (titik hitam) Suhu rata-rata global tahunan (titik hitam) dengan kecocokan linier dengan data. Sumbu sebelah kiri menunjukkan anomali suhu relatif terhadap rata-rata tahun 1961 hingga 1990 dan sumbu kanan menunjukkan prakiraan suhu aktual, keduanya dalam °C. Tren linier ditunjukkan untuk 25 (kuning), 50 (oranye), 100 (magenta) dan 150 tahun terakhir (merah). Kurva biru  menunjukkan variasi dekadal, dengan rentang error 90% dekadal ditampilkan sebagai pita biru di sekitar garis. Kenaikan suhu total dari periode 1850 hingga 1899 ke periode 2001 hingga 2005 adalah 0,76°C ± 0,19°C.

Gambar 5. Peningkatan suhu rata-rata global sejak kondisi pra industri (tahun 1850 -1900) sampai dengan sekarang. 

Gambar 6. Proyeksi perubahan rata-rata suhu udara Indonesia oleh BMKG



Gambar 7. Kecenderungan peningkatan iklim ekstrem


Kecenderungan peningkatan suhu pada tahun 2020 sangat penting karena terjadi pada masa La Nina yang sedang berkembang. La Nina dan kebalikannya El Nino, terkait erat dengan variasi suhu muka laut di Samudera Pasifik. Hal ini meningkatkan peningkatan (El Nino) atau penurunan (La Nina) panas yang ditambahkan ke atmosfer. Kecenderungan peningkatan  iklim ekstrem (Gambar 7) sangat dipengaruhi oleh dua fenomena iklim tersebut. Menurut NOAA, tahun 2020 dibandingkan dengan tahun saat juga terjadi La Nina di masa lalu (1970, 1995, 2007 dan 2010) sekitar 0,5 derajat lebih hangat. Artinya tahun-tahun La Nina yang lebih baru (dan tahun-tahun El Nino) jauh lebih hangat daripada 70 tahun terakhir. Perubahan iklim adalah penyebabnya, karena Gas Rumah Kaca (GRK) terakumulasi di atmosfer dan menghangatkan Bumi. La Nina ini menyebabkan peningkatan hujan di Indonesia.
Dampak perubahan iklim sangatlah besar pada sektor pertanian, dari tanaman pangan, hortikultura, kehutanan, peternakan dan perikanan. Perubahan iklim memberikan tantangan terhadap kestabilan dan usaha peningkatan produktivitas pertanian. Perubahan iklim menyebabkan suhu akan lebih meningkat, perubahan pola curah hujan dan distribusinya, terjadinya iklim ekstrem dan muka air laut naik, pH air laut turun. Dampak yang akan terjadi : 1) Kekurangan ketersediaan air (water scarcity) akan lebih sering terjadi, 2) Perubahan pada awal waktu tanam dan panjangnya masa tanam, 3) Stress lingkungan, iklim ekstrem menyebabkan seringnya terjadi banjir, kekeringan, erosi karena air hujan dan angin kencang, meningkatnya kemasaman tanah, salinitas serta degradasi biologis. Salah satu bentuk nyata telah terjadinya perubahan iklim adalah semakin meningkatnya frekuensi terjadinya kejadian iklim ekstrem (Gambar 6) seperti El Nino dan La Nina dan juga peningkatan global warming. 4) Distribusi habitat dan spesies, mempengaruhi ekosistem alamiah dan hewan liar, 5) Degradasi servis lingkungan.
Para pembuat kebijakan, ahli pertanian dan pemulia tanaman perlu memahami perubahan iklim, terutama dampak kenaikan suhu, untuk memastikan ketahanan  pangan. karena produksi pertanian rentan terhadap perubahan iklim. Hasil berbagai penelitian dan publikasi menunjukkan bahwa dengan metode independen secara konsisten memprakirakan dampak suhu yang negatif pada hasil tanaman utama pada skala global, umumnya juga dampak serupa pada tingkat skala negara dan lokal. Dari analisis multimetode meningkatkan kepercayaan untuk penilaian dampak iklim masa depan pada tanaman utama secara global, dengan respons penting untuk mengembangkan strategi adaptasi secara khusus pada tanaman dan wilayah tertentu, dengan memastikan pasokan makanan masa depan saat populasi dunia yang terus meningkat.
Dari seluruh fakta di atas memberikan suatu pernyataan pentingnya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di bidang pertanian di masa sekarang. Produktivitas pertanian rentan terhadap perubahan iklim dan iklim mempengaruhi seluruh aspek pertanian. Sektor pertanian harus dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut bila menginginkan produktivitas dan produksinya terjaga. Perubahan iklim dalam berbagai penelitian akan menurunkan produktivitas pertanian pangan utama dan perikanan. Pengambilan keputusan dalam aktivitas pertanian sangat dipengaruhi iklim/cuaca setempat. Iklim seperti halnya curah hujan semakin bervariasi setiap tahunnya hingga pada tingkatan yang ekstrem (banjir dan kekeringan) yang berdampak buruk pada pertanian. Dampak buruk kegagalan panen semakin diperparah karena ketidakmampuan pelaku usaha tani dalam membaca kondisi iklim yang bervariasi. Maka, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan sebagai solusi adalah CSA (Climate-Smart Agriculture).

Pemahaman tentang CSA (Climate-Smart Agriculture)

Istilah Climate-Smart Agriculture pertama kali dikenalkan pada tahun 2010 ketika Konferensi Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim di Den Haag Belanda. CSA pertama kali diperkenalkan oleh organisasi PBB yang menangani masalah pangan FAO (Food and Agriculture Organization). Dipresentasikan pada Hague Conference on Agriculture, Food Security and Climate Change pada tahun 2010 yang mengungkapkan CSA berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Climate-Smart Agriculture (Sistem Pertanian Cerdas Iklim/Sipeci) didefinisikan sebagai pendekatan untuk merubah atau mereorientasi sistem produksi pertanian dan rantai nilai makanan sehingga mencapai pertanian berkelanjutan yang dapat memastikan ketahanan pangan di bawah kondisi ancaman perubahan iklim.
CSA tak terbatas pada budidaya dalam arti sempit, tetapi menyangkut sistem produksi pertanian yang berpangkal pada kondisi tanah dan lahan, keragaman karena interaksi dengan komoditas (tanaman, ternak, ikan) dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan manusia manusia (sehat, berkelanjutan, kecukupan energi, dan lain-lain). Peningkatan nilai pangan pada setiap tahap proses dari hulu sampai hilir sudah pasti akan membutuhkan energi. Emisi yang akan dilepaskan dari proses hulu sampai hilir perlu ditekan sedemikian rupa sehingga sangat minim dalam kontribusinya pada atmosfer.

CSA  sangat berkaitan erat dengan pertanian berkelanjutan. Prinsip pertanian berkelanjutan antara lain : 

  1. Budidaya yang dilakukan dengan cara berkelanjutan, yang dapat memenuhi keperluan pangan komunitas saat ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang memenuhi pangannya.
  2. Budidaya yang baik terhadap lingkungan, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan menguntungkan para petani.

Ketahanan pangan bisa tercapai jika rumah tangga tidak dalam kondisi kelaparan atau ancaman kelaparan. Ketahanan pangan dapat tercapai jika memenuhi empat pilar yaitu : ketersediaan pangan, akses pangan, penggunaan pangan dan kestabilan pangan.
CSA merupakan transisi sistem produksi pertanian menuju suatu pendekatan yang terintegrasi untuk menghadapi tantangan (yang saling terkait antara) ketahanan pangan (food security) dan perubahan iklim (climate change).  CSA mendukung ketahahan pangan dengan menyertakan adaptasi dan potensi mitigasi. Secara eksplisit CSA bertujuan 1) Meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan (sustainable) serta mendukung peningkatan pendapatan petani dari lahan pertanian, ketahanan pangan dan pembangunan; 2) Melakukan adaptasi dan membangun ketahanan sistem pertanian dan ketahanan pangan terhadap dampak perubahan iklim/variabilitas iklim; dan 3) Mengurangi emisi dan meningkatkan absorpsi gas rumah kaca dari pertanian. Ketiga tujuan tersebut hendaknya dilaksanakan pada berbagai tingkatan : dari petani, daerah, negara hingga tingkat global. Jadi, CSA memiliki 3 pilar yaitu produktivitas, resiliensi (ketahanan) dan mitigasi. Uraiannya sebagai berikut :

  1. Produktivitas, CSA meningkatkan produktivitas pertanian secara berkelanjutan dan dapat meningkatkan pendapatan petani tanpa terpengaruh dampak lingkungan, perubahan iklim dan meningkatkan ketahanan pangan.
  2. Resiliensi, CSA dapat mengurangi tingkat keterpaparan petani terhadap perubahan iklim dalam jangka pendek dan memperkuat ketahanan/kemampuan beradaptasi
  3. Mitigasi, CSA hendaknya dapat mengurangi emisi GRK, menghindari deforestrasi dari sektor pertanian, mengelola tanah dan tanaman dengan memaksimalkan potensi penyimpanan karbon dan CO2 dari atmosfer.

Pembangunan pertanian haruslah meliputi : 1) Mencapai tujuan ketahanan pangan dan 2) menghindari dampak yang "irreversible" dan berbahaya dari perubahan iklim. Perubahan Iklim memberikan dampak yang besar terhadap seluruh dimensi ketahanan pangan. Ketahanan pangan dengan bagaimana memberikan pangan kepada penduduk yang terus bertambah, bagaimana meningkatkan produksi pangan sementara lahan terbatas dan dampak perubahan iklim yang terus bertambah. 

Dampak perubahan iklim semakin besar, maka adaptasi pun harus dilakukan. Dampak yang berbahaya dari perubahan iklim, diantaranya target menahan peningkatan suhu di bawah 1,5 °C membutuhkan penurunan emisi yang sangat besar sehingga diperlukan mitigasi. Pertanian dan kehutanan karena memberikan kontribusi cukup besar bagi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), maka haruslah menjadi bagian solusi pada perubahan iklim.  Menurut Hillel dan Rosenzweig (2013), produksi pangan dapat ditingkatkan dengan melakukan ekstensifikasi lahan yang ditanam atau dengan intensifikasi produksi. Managemen kedua proses tersebut harus dilakukan dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan merespons perubahan iklim yang sekarang ini terus berlangsung.

Sektor pertanian sangat peka terhadap unsur iklim. dan juga dianggap bertanggung jawab langsung terhadap 14% emisi gas rumah kaca global, karena sektor ini merupakan pendorong utama terhadap penebangan hutan dan degradasi lahan (FAO, 2014). Sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2e, bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut tidak diperhitungkan (Surmaini et al., 2010).  Tantangannya adalah bagaimana pendekatan CSA dapat dijalankan pada sektor pertanian di Indonesia untuk menghadapi dampak perubahan dan variabilitas iklim. CSA menghadapi tantangan membangun sinergi antara tujuan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tentunya juga dengan peningkatan produktivitas dan income petani. 

Aktivitas utama pertanian diupayakan dalam mengelola resiko iklim, meningkatkan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Bagaimana  menghubungkan pengetahuan dan aksi dalam berbagai kegiatan pertanian cerdas iklim (CSA). Berbagai aktivitas diterapkan secara spesifik baik melalui satu atau kombinasi beberapa aspek antara lain : 1) Climate smart : misalnya kegiatan peningkatan akurasi prakiraan iklim (bulanan atau  musiman), asuransi berbasis iklim, penggunaan informasi dan teknologi informasi dalam pengambilan keputusan pertanian (penentuan awal dan jadwal tanam, pengaturan irigasi dan penanganan organisme hama penyakit tanaman), 2) Water smart : misalnya pengelolaan air di tingkat lahan atau komunitas, pemanenan air hujan, 3) Carbon smart : misalnya  konservasi tanah (tanpa olah tanah), pengaturan sistem penggunaan lahan, 4) Soil smart : misalnya pengelolaan dan efesiensi pemupukan, pemanfaatan legume untuk meningkatkan nitrogen dalam tanah dan 5) Energy smart : misalnya mesin pertanian hemat energi, biofuel, pemanfaatan sampah pertanian dan sebagainya.

Gambar 7. Beberapa aspek dalam CSA

Hubungan antara pertanian dan perubahan iklim adalah jalan dua arah: pertanian tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan iklim tetapi juga memiliki efek yang signifikan sebagai imbalannya. Secara global, pertanian, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan bertanggung jawab atas 19-29% emisi GRK. Di negara-negara berkembang, angka ini meningkat menjadi 74%. Jika emisi pertanian tidak dikurangi, pertanian akan menyumbang 70% dari total emisi GRK yang dapat dilepaskan jika kenaikan suhu dibatasi hingga 2°C. Peningkatan 2°C dibandingkan suhu pada masa pra-industri dikaitkan dengan dampak negatif yang serius terhadap lingkungan alam dan kesehatan serta kesejahteraan manusia, termasuk risiko yang jauh lebih tinggi bahwa perubahan berbahaya dan kemungkinan bencana di lingkungan global akan terjadi. Untuk alasan ini, masyarakat internasional telah mengakui perlunya menjaga pemanasan jauh di bawah 2°C dan mengupayakan upaya untuk membatasinya hingga 1,5°C. Pilihan mitigasi yang tersedia di sektor pertanian sama kompetitifnya dengan biaya yang ada di sektor energi, transportasi dan kehutanan. Dan mereka juga mampu mencapai tujuan iklim jangka panjang. Untuk itu, mitigasi merupakan salah satu dari tiga pilar pertanian cerdas iklim (CSA). 

Gambar 8. CSA untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan tujuan pembangunan

Penjelasan yang lengkap tentang CSA disampaikan oleh pakar mikrometeorologi dan agroklimatologi IPB, Ibu Prof. Dr. Ir. Tania June, M.Sc sebagai berikut :

Bagaimana melokalkan aksi-aksi CSA?

Dengan resiko di masa kini dan akan datang yang diakibatkan oleh perubahan iklim terhadap lahan dan produktivitas pertanian, maka langkah pertama melakukan reorientasi tentang produk pertanian. Petani dengan menggunakan langkah-langkah lokal dalam cerdas iklim menghadapinya. CSA mendorong tindakan yang terkoordinasi  antara petani, penyuluh, peneliti, pengambil keputusan, swasta dan masyarakat menuju ketahanan iklim dengan 4 (empat) aksi utama yaitu : 1) Membangun bukti dan alat penilaian, 2) Penguatan dan peningkatan institusi nasional dan lokal, 3) Mengembangkan koordinasi antara iklim dan kebijakan serta 4) Meningkatkan hubungan antara iklim dan pembiayaan pertanian (Gambar 9).
Gambar 9. Aksi dalam CSA


Dengan CSA memungkinkan petani secara berkelanjutan meningkatkan produktivitas dan pendapatannya, beradaptasi dan membangunan ketahanan terhadap perubahan iklim serta mengurangi emisi GRK. CSA dibangun dengan pertanian berkelanjutan menggunakan prinsip ekosistem, pengelolaan berkelanjutan lahan dan air, analisis lanskap serta penilaian sumber daya dan energi dalam sistem pertanian. CSA bukanlah suatu praktik yang diterapkan secara universal, tetapi suatu pendekatan yang melibatkan berbagai unsur dengan konteks tertentu yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan lokal (FAO, 2014).
Dikarenakan adanya ketidakpastian (uncertainty) pada keluaran model iklim, pengembangan dan penerapan pendekatan berorientasi masalah perencanaan adaptasi perlu potensi dalam mengidentifikasi tindakan yang jelas dalam menghadapi ketidakpastian. Basis bukti diperlukan untuk mendukung pengambilan keputusan yang efektif, menghadapi adanya skala spasial dan temporal yang tidak sesuai pada perencanaan lokal. Teknis bagaimana menyampaikan skala yang lebih sesuai untuk mendukung keputusan, informasi yang lebih terbatas yang mudah dipahami pada perubahan variabilitas iklim pada skala tersebut dan dampaknya bagi pertanian lebih penting disampaikan pada masyarakat lokal (petani) daripada menyampaikan tren jangka panjang variabilitas iklim kepada mereka (Lipper et al., 2014).
SLI Operasional  
Salah satu langkah nyata dalam menjalankan CSA melalui kegiatan SLI (Sekolah Lapang Iklim). SLI adalah pendekatan yang memberdayakan petani dan penyuluh. Proses transfer ilmu tentang iklim kepada petani yang dilakukan secara bertahap.  Menurut Boer et al.,  2003 tujuan kegiatan SLI adalah : 1) Meningkatkan kemampuan petani tentang iklim dan kemampuan  mengantisipasi kejadian iklim ekstrem pada aktivitas pertanian mereka. 2) Membantu petani dalam mengamati unsur iklim dan memanfaatkannya bagi keperluan pertanian. 3) Membantu petani untuk menterjemahkan informasi iklim (prakiraan) dalam mendukung kegiatan usaha tani, khususnya pada keputusan menanam dan strategi memanen. Kegiatan SLI meliputi dua bagian fase sosialisasi dan institusionalisasi. Sosialisasi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang iklim dan pemanfaatannya dan institusionalisasi untuk kelembagaan. Tujuan final dari SLI adalah membentuk kelompok tani yang mempunyai motivasi mengembangkan kegiatan agribisnisnya sendiri, dengan informasi iklim dipergunakan sebagai masukan untuk membuat rencana, strategi dan keputusan.

Gambar 10. Proses dalam SLI (Diadaptasi dari Boer et al., 2003)

BMKG dalam partisipasinya turut memberikan layanan dan informasi iklim dan perubahannya, melaksanakan kegiatan SLI. Kegiatan ini merupakan diseminasi BMKG dalam menjalankan CSA. Pada awalnya sejak tahun 2011 SLI dilakukan hanya dengan menggunakan konsep lama. SLI yang menggunakan konsep klasikal menyampaikan modul pelatihan dan simulasi melalui 3 tahapan. Kegiatan ini pesertanya di Kalimantan Selatan terdiri atas PPL, POPT dan perwakilan Kelompok Tani. Kegiatan ini merupakan kegiatan mandiri BMKG dan tidak berkelanjutan.

Dalam keadaan pandemi diperkenalkan SLI Operasional, yang merupakan sebuah konsep baru dari BMKG dalam mengawal produktivitas pertanian.  Konsep aktivitas SLI dengan menerapkan aturan protokoler kesehatan untuk aktifitas pembelajaran yang mengharuskan pertemuan secara fisik (offline). Sedangkan untuk pembelajaran jarak jauh dilakukan dengan online mellaui modul-modul video visual yang dapat digunakan oleh peserta SLI berupa pembelajaran jarak jauh dan juga kemasan video materi mengenai iklim.
Sekolah Lapang Iklim (SLI) Operasional adalah upaya untuk meningkatkan pemahaman informasi iklim khususnya kepada para petugas Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) dan petani di tengah kondisi darurat COVID-19 dan di masa “New Normal” dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan. Diharapkan petani tetap mendapatkan pembelajaran dalam memahami informasi cuaca dan iklim serta dapat menerapkan secara berkelanjutan pengetahuannya dalam meningkatkan hasil produksi pertanian serta dalam mengantisipasi variabilitas iklim dan dampak iklim ekstrem di wilayah masing-masing.SLI Operasional dijalankan secara tematik, menyesuaikan dengan kearifan lokal daerah setempat. SLI tematik tersebut diharapkan meningkatkan pemahaman petani dalam "membaca" informasi cuaca atau literasi iklim. Sebab diketahui, petani umumnya telah memiliki kearifan lokal turun menurun mengenai cuaca. Perpaduan keduanya diharapkan dapat meminimalisir dampak buruk yang diakibatkan oleh cuaca dan iklim di kegiatan pertanian. 
Sejak tahun 2020, BMKG telah mengusung konsep kegiatan SLI Operasional dengan target kegiatan fokus kelompok tani binaan dan menggandeng Dinas Pertanian, lembaga penelitian Pertanian serta pihak terkait. SLI Operasional bertujuan memberikan informasi secara lebih mendalam dan langsung kepada kelompok petani dan penyuluh pertanian, diharapkan mampu merubah persepsi, perilaku serta pengalaman dalam pemanfaatan informasi iklim. Tim BMKG melakukan pendampingan secara intensif dalam mendapatkan informasi pengaruh, dampak SLI pada wilayah setempat. SLI Operasional ditargetkan pada satu lokasi Desa/ Kecamatan dengan kegiatan berkelanjutan. Kegiatannya dilaksanakan pada suatu demplot Kelompok Tani dengan menggunakan peralatan observasi iklim sederhana (misalnya : penakar hujan observatorium dan lain-lain). Kegiatan dilakukan dengan berkolaborasi bekerja sama dan berbagi sumber daya yang ada. Pada tahun 2020 SLI Operasional BMKG telah dilaksanakan di 39 lokasi di Indonesia. Di Kalimantan Selatan kegiatan ini telah dilangsungkan di 2 Kabupaten/Kota yaitu : 1) Kab. Hulu Sungai Selatan yang merupakan sentra tanaman pangan lahan rawa lebak dan 2) Kota Banjarbaru yang merupakan sentra tanaman hortikultura 

Gambar 11. Lokasi-lokasi pelaksanaan SLI Operasional d Indonesia tahun 2020


Sumber :

Web 


https://ayosemarang.com/read/2020/09/17/63815/bmkg-gelar-sli-berikan-pemahaman-informasi-iklim-bagi-petani diakses 10 Januari 2021.

https://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=1006:indonesia-susun-profil-pertanian-cerdas-iklim&catid=129&Itemid=305 diakses 10 Oktober 2021

https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=bmkg-tegaskan-komitmen-dukung-kedaulatan-pangan&tag=press-release&lang=ID diakses 25 Oktober 2021









Jurnal dan Buku :

Aman Nurrahman Kahfi. 2020. Bahan Ajar Konsep Climate-Smart Agriculture. Kementerian Pertanian Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Balai Besar Pelatihan Pertanian Binuang.

Boer R, Rubbiah AR, Tamkani K, Hardjanto H, Alimoeso S. 2003. Institutionalizing Climate Information Applications: Indonesian Case; Bogor Agricultural University, Asian Disaster Preparedness Centre, Indramayu Agriculture Office, Bureau of Meteorology and Geophysics, Directorate of Plant Protection Bogor: Bogor, Indonesia; Pathumthani, Thailand, 2004 : 189–198

FAO, 2014.  Climate Smart Agriculture Sourcebook.  ISBN 978-92-5-107720-7 (hardcopy). E-ISBN 978-92-5-107721-4.

Hillel D, Rosenzweig C,.  2013. Handbook  of Climate Change and Agroecosystems, Global and Regional Aspects and Implications. Imperial College Press. 

Lipper, L., Thornton, P., Campbell, B. M., Baedeker, T., Braimoh, A., Bwalya, M. 2014. Climate-smart agriculture for food security, Nat. clim. Chang. 4, 1068–1072. doi: 10.1038/nclimate2437








5 komentar:

Cuaca Halil mengatakan...

cuaca di sumatera utara sangat hujan akhir-akhir ini

Anonim mengatakan...

terima kasih ilmunya

Cantik mengatakan...

Pak ...... apakah bisa kolaborasi di "Sistem pertanian baru dg tehnologi" ? akibat perubahan iklim bisa email k saya....

ustadzklimat mengatakan...

Mhn izin bapak/ibu bisakah menyebutkan email bapak/ibu insyaallah kalau memungkinkan saya siap bantu. Terima kasih

Cantik mengatakan...

srih014 ......brin....go....id....