Minggu, 29 Mei 2022

FENOMENA URBAN HEAT ISLANDS (UHI), ANALISIS DAN MITIGASINYA

 
Gambar 1. Profil dan ilustrasi Urban Heat Island (UHI)

Pengertian UHI

Urban Heat Islands (UHI) adalah kondisi daerah kota atau metropolitan yang secara signifikan lebih panas dibandingkan dengan daerah pedesaan di sekitarnya. UHI dicirikan dengan "pulau" udara permukaan panas yang terpusat di area urban dan semakin turun temperaturnya di daerah sekelilingnya pada daerah sub urban/rural (Gambar 1).  UHI terjadi karena peningkatan suhu udara perkotaan (urban) dibandingkan di wilayah sub urban dan rural/ pedesaan (Effendy dan Santosa, 2008). 

Penyebab UHI

Proses pembangunan yang diiringi dengan pertambahan jumlah penduduk akan mempengaruhi luasan lahan yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan sehari-hari serta mempengaruhi suhu yang memicu adanya fenomena pulau bahang (Urban Heat Island). Proses urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar  membawa  pengaruh  terhadap  peningkatan jumlah penduduk. Akibat proses urbanisasi adalah adanya alih fungsi lahan dari lahan tidak terbangun menjadi  lahan  terbangun. Menurut Tursilowati (2008), UHI disebabkan beberapa faktor yang membedakan antara daerah urban dan non urban misalnya : pelepasan energi antropogenik dari sistem AC, emisi energi dari perindustrian, kendaraan bermotor, perbandingan banyaknya permukaan campuran dan perbedaan kapasitas panas material bangun material dengan struktur alam.

Faktor pemicu terjadinya UHI, di antaranya (Gambar 2):
  1. Berkurangnya vegetasi. Umumnya daerah perkotaan cenderung memiliki lebih sedikit pohon dan lahan hijau dibandingkan dengan daerah pedesaan. Pepohonan dan vegetasi memberikan efek penyejuk melalui evaporasi (penguapan) yang membantu menurunkan suhu permukaan.  Berkurangnya pohon akan menyebabkan suhu udara lebih panas.
  2. Penyerapan panas. Di perkotaan memiliki lebih banyak permukaan tidak tembus air seperti beton dan aspal yang dapat menyerap dan menyimpan panas dari sinar matahari. Permukaan pada bahan yang gelap akan menyerap radiasi matahari dalam jumlah besar. Besar atau kecilnya penyerapan panas pada suatu permukaan dapat dinyatakan dengan albedo. Albedo adalah rasio radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan terhadap total radiasi matahari yang masuk, dinyatakan dalam bentuk rasio. Albedo yang besar menyatakan besarnya pemantulan radiasi yang datang pada suatu permukaan. Permukaan yang memiliki warna gelap cenderung menyerap panas sehingga memiliki nilai albedo yang rendah.
  3. Aktivitas manusia dalam bidang transportasi, industri, dan banyaknya penggunaan pendingin udara (AC) menghasilkan panas, yang berkontribusi pada peningkatan suhu keseluruhan di daerah perkotaan.
  4. Desain bangunan di daerah perkotaan sering dibangun dengan bahan yang menyerap dan menyimpan panas seperti beton dan kaca. Desain yang padat di daerah perkotaan dapat  menahan panas dan menghambat sirkulasi udara.

Gambar 2. Bagaimana peristiwa UHI terjadi

Proses UHI

Suhu udara perkotaan mengalami peningkatan tajam, sedikitnya vegetasi dan evaporasi menyebabkan di perkotaan tetap bertahannya panas di sekitarnya (Gambar 2). Dominannya material yang tak bisa menyerap energi Ultra Violet cahaya matahari dengan baik. Misalnya : infrastruktur jalan dan bangunan yang mempunyai warna gelap, mesin AC yang mengeluarkan panas, kendaraan bermotor yang merefleksikan energi panas. Hal ini didukung oleh semakin mengecilnya RTH, jalur sungai dan danau buatan. Semua faktor ini mendukung terjadinya UHI. Jadi secara  umum,  UHI  bukan hanya mengacu  pada  peningkatan suhu  udara, tetapi  UHI  dapat  juga  mengacu pada panas relatif sebuah  permukaan  atau  material di atasnya. UHI secara tidak tak langsung meningkatkan perubahan iklim lokal karena modifikasi atmosfer dan permukaan pada daerah urban. Pada malam hari suhu di daerah UHI tetap tinggi. Hal ini dikarenakan bangunan, trotoar dan jalanan tempat parkir menghalangi panas yang berasal dari tanah ke langit yang dingin. Panas terperangkap di daerah lebih rendah sehingga suhu menjadi hangat.

Penjelasan lebih lanjut tentang UHI sebagai berikut :


Sejarah pertama kali UHI

Fenomena UHI pertama kali dijelaskan oleh Luke Howard pada tahun 1810-an. Disebut dengan "pulau panas" karena bentuk fenomena UHI bila digambarkan secara spasial profilnya berbentuk isoterm, seperti pulau dengan suhu tertinggi di pusat kota dan menurun di pinggir kota, sejalan dengan kepadatan bangunan yang tinggi di pusat kota dan menurun di pinggir kota (Gambar 3). Perbedaan suhu biasanya terlihat pada malam hari dibandingkan dengan siang harinya, dan lebih terlihat saat udara yang lemah. UHI ditandai dengan terjadinya peningkatan suhu di kota, dimana pusat kota mempunyai suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. UHI bila digambarkan secara spasial berbentuk isoterm seperti sebuah pulau dengan suhu tertinggi di pulau tersebut dibandingkan areal sekitarnya (Gambar 3). Pola spasial isoterm biasanya mengikuti  daerah terurbanisasi. Untuk menentukan  intensitas heat island diukur dari perbedaan antara suhu udara pedesaan dan suhu tertinggi di daerah perkotaan.

Gambar 3. Fenomena UHI dalam bentuk isoterm (Vooght dan Oke, 2003)

Gambar 4. Fenomena UHI dalam bentuk gambar termal 



Diurnal UHI

UHI pada malam hari akan meningkat daripada siang hari karena perbedaan rata-rata pendinginan antara wilayah perkotaan dan pedesaan (pinggir kota). Perbedaan ini akan makin menguat saat  Intensitas UHI secara umum meningkat saat matahari tenggelam, tetapi puncaknya tergantung pada keadaan cuaca dan waktu setempat. Dalam beberapa kasus, nilai intensitas yang bernilai negatif yang disebut Cool Island, karakteristik dalam perkotaan yang lambat dalam meningkatkan suhu akibat adanya halangan radiasi yang masuk dibandingkan di daerah pinggiran pedesaan yang memiliki lahan terbuka (Gambar 5). Intensitas UHI terlihat jelas dengan perbedaan suhu perkotaan dan pedesaan (Hermawan, 2015).


Gambar 5. Diurnal suhu udara dan intensitas heat island (°C) (Hermawan, 2015)

Perbedaan temperatur udara di daerah perkotaan dan pinggir kota dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu : Pertama, faktor meteorologi misalnya : kondisi awan, kelembapan udara dan kecepatan angin. Kedua kondisi struktur perkotaan seperti ukuran kota, kepadatan area terbangun, rasio ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, lebar jalan, dan material bangunan.

Melalui  empat sifat termal benda yang mempengaruhi suhu permukaannya, yaitu: (a) konduktivitas termal (thermal conductivity), (b) kapasitas termal (thermal capacity), (c) kebauran termal (thermal diffusivity), dan (d) ketahanan termal (thermal inertia/ thermal resistency). Dengan menggunakan hasil interpretasi citra dapat menunjukkan kawasan perkotaannya lebih hangat dibandingkan dengan daerah lainnya jika dibandingkan dengan area lainnya. Perbedaan nilai UHI diakibatkan oleh peningkatan suhu permukaan atau suhu udara.

Menurut Oke  (1992) ada beberapa skala pendekatan untuk mengkaji iklim kota (dalam konteks UHI), yaitu :

1. Urban Boundary Layer (UBL)

Yaitu bagian atmosfer dengan skala lokal hingga meso, karakteristiknya dipengaruhi oleh permukaan kota secara umum Secara fisik dapat digambarkan bahwa lapisan ini adalah rata-rata ketinggian bangunan (atap) suatu kota hingga ke atas.

2. Urban Canopy Layer (UCL)

Skala atmosfer ini menghasilkan skala mikro yang prosesnya dipengaruhi oleh bangunan-bangunan yang ada dalam kota (Gambar 6). Secara fisik, lapisan ini adalah lapisan dari ketinggian bangunan (atap) hingga ke bawah.


Gambar 6. Ilustrasi skala iklim kota

3. Building Canopy Layer (BCL)

Skala atmosfer dalam mikro yang sangat kecil meliputi (10 - 150 m). Pada skala yang sangat kecil detik ke menit. 

Jenis UHI dapat dibedakan atas UHI atmosfer (Boundary Layer Heat Island)  dan UHI permukaan (SUHI). Voogt dan Oke 2003 mengusulkan skala pendekatan untuk UHI pada skala mikro yaitu Surface Urban Heat Island (SUHI)/ UHI permukaan, selain mempelajari perbedaan suhu pemukaan antara perkotaan dan pedesaan, juga mempelajari variasi temporalnya (Gambar 7). SUHI menggambarkan suhu permukaan di wilayah perkotaan daripada daerah pedesaan, diilustrasikan dengan gambar termal (Gambar 4). Sedangkan pada skala UHI atmosfer (Boundary Layer Heat Island) digambarkan dalam peta isoterm (Gambar 3) atau grafik.
  
Gambar 7. Profil suhu udara di daerah yang berbeda, dengan formasi UHI saat siang hari (kuning) dan malam hari (biru) (Voogt dan Oke 2003)

Saat pagi hari SUHI menampilkan amplitudo dan variasi yang besar, terutama di perkotaan. Saat siang hari suhu permukaan sangat bervariasi tergantung dari tipe permukaan, sedangkan suhu udara di siang hari sangat sedikit variasinya. Saat malam hari suhu permukaan lebih panas pada permukaan perkotaan  (Gambar 7).  UHI biasanya paling kuat saat malam hari.

Tipe UHI dapat dibagi menjadi 3 berdasarkan jangkauan horizontal, lapisan vertikal dan skala waktu (Kim et al., 2021). Yaitu : UHI permukaan (SUHI), UHI lapisan kanopi dan UHI lapisan batas (UBL).


Tabel 1. Tipe UHI berdasarkan Jangkauan Horizontal, Lapisan Vertikal dan Skala Waktu

Tipe Heat IslandJangkauan horizontalLapisan vertikalSatuan PerkotaanSkala WaktuMetode Koleksi Data
Boundary Layer
Heat Islands
Makro > 100 km
Meso 10 - 100 km
Urban Boundary
Layer
(UBL)
(250 - 2500 m)
Kawasan urban
Perkotaan
Jam - hari
Jam - 1 hari  
Data historis cuaca
Remote sensing
Canopy Layer
Heat Islands
Lokal 0,5 - 10 kmUrban Canopy
Layer
(UCL)
(25 - 250 m)
daerah sekeliling
blok
Menit - jamStasiun cuaca stasioner
Stasiun cuaca sementara yang tetap
pengukuran mobil stasiun cuaca
Surface
Heat Islands
Mikro 10 m - 0,5 kmBuilding Canopy
Layer
(BCL)
(10 - 100 m)
Land Surface
Layer
(LSL)
(<10 m)
bangunan, jalanDetik - menitstasiun cuaca sementara
pengukuran mobil stasiun cuaca
thermal imaging camera
remote sensing

Konsep UBL untuk menjelaskan UHI pada skala meso, sedangkan UCL pada lapisan ketinggian atap bangunan di kota. BCL diasumsikan lapisan antara manusia dan permukaan, LSL cakupannya pada lingkungan termal, terutama suhu permukaan tanah (LST). Sebagai catatan, sebagian besar peneliti lebih fokus pada UCL dan BCL dikarenakan adanya keterbatasan peralatan dan lokasi stasiun cuaca yang dapat digunakan.

Pengamatan dan penelitian tentang UHI

Seiring meningkatnya suhu 1,5 °C di permukaan bumi menandakan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem dan iklim yang telah dibentuk bertahun-tahun. Peningkatan intensitas UHI mencapai 1,5 °C adalah nilai yang cukup besar bagi perhatian terhadap kesehatan dan kenyamanan manusia. Prakiraan pemanasan global kenaikan suhu 3,5 hingga 6 °C akan tetapi untuk daerah perkotaan besar terukur hingga 6 hingga 8 °C  lebih panas daripada daerah pedesaan di sekitarnya. Dampak UHI di daerah pusat metropolitan berkembang pesat dan berlipat ganda, tidak hanya pada skala horizontal tapi juga pada skala vertikal (El Sayyed, 2012). Maka sangatlah penting penelitian dan pengamatan terhadap UHI. Fenomena UHI merupakan suatu fenomena yang banyak dikaji oleh para pengkaji iklim di dunia, termasuk di Indonesia. 

Pengukuran UHI dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain :
  1. Pengamatan melalui observasi suhu udara permukaan. Pengamatan menggunakan dua lokasi yang berbeda yaitu di perkotaan dan di pedesaan terdekat. Selisih nilainya digunakan untuk menentukan nilai UHI. Penggunaan jaringan sensor di lapangan yang ditempatkan di lapangan sehingga dapat dipantau nilai suhu udara secara real time.
  2. Penggunaan inderaja/ remote sensing melalui citra satelit. Menggunakan citra satelit kita dapat memetakan suatu wilayah dengan resolusi spasial yang tinggi. Melalui perbandingan citra permukaan di daerah perkotaan dan pinggiran/ sub urban intensitas UHI dapat ditentukan
  3. Penggunaan simulasi model. Model numerik dapat digunakan kedua lokasi yang kita bandingkan, di perkotaan dan pedesaan, sehingga nilai UHI dapat dihitung. 
Pengukuran dan analisis UHI dapat dimodelkan secara statistika. Beberapa model statistika yang dapat digunakan antara lain :
  1. Regresi linier, dengan memodelkan suhu udara dengan variabel lingkungan (misalnya : waktu, penggunaan lahan dan pola angin). Suhu udara sebagai variabel respon dan unsur lingkungan lainnya sebagai variabel prediktor. Permodelan ini akan membantu dalam identifikasi faktor-faktor tersebut kontribusinya pada UHI dan prakiraan intensitas UHI di suatu lokasi.
  2. Regresi secara spasial. Melalui analisis korelasi spasial akan dapat mengidentifikasikan hubungan spasial suhu udara dengan variabel lingkungan lainnya dengan mempertimbangkan faktor spasial (jarak dan luasan pengukuran). Pengukuran suhu udara dapat diperhitungkan secara spasial untuk prediksi UHI yang lebih akurat.
  3. Model spasial dengan basis fisis, bisa digunakan dengan memodelkan distribusi suhu udara suatu wilayah dengan faktor-faktor lingkungan berupa topografi, penggunaan lahan dan angin. Model ini memperhitungkan perbedaan karakteristik fisik di daerah perkotaan dan pedesaan.
Beberapa Contoh Penelitian tentang UHI

Pengamatan Observasi

Kasus I 
Pengamatan menggunakan observasi di lapangan dilakukan oleh beberapa ahli. Diantaranya penelitian yang dilakukan oleh El Sayyed 2012 di Kuala Lumpur. Beliau melakukan pengamatan dengan menggunakan jaringan stasiun  cuaca dan survey travel beberapa kampus yang ada di sana. 
Gambar 8. Wilayah penelitian UHI menggunakan jaringan stasiun cuaca dan travel di Kuala Lumpur (El Sayyed, 2012)

Penelitian El Sayyed 2012 mencatat pengamatan stasiun cuaca dan travel membandingkan 7 hari berbeda suhu udara selama pengamatan di berbagai titik di Kuala Lumpur 20 - 26 Desember 2004. 



Gambar 9. Pencatatan suhu seluruh stasiun (atas) dan pencatatan suhu di pusat kota (bawah) tanggal saat survey 20 - 26 Desember 2004

Hasil pengamatan menunjukkan intensitas UHI terparah pada hari Minggu (Sunday) di Kuala Lumpur, dengan intensitas bervariasi dari 3,9°C sampai dengan 5°C. Inti UHI terletak di tengah kota (Puduraya). Pada saat hari kerja cenderung lebih panas daripada hari libur, tetapi di pusat kota, Puduraya malah lebih panas dan padat pada hari libur.  Adanya perbedaan peningkatan intensitas UHI kota Kuala Lumpur lebih dari satu derajat Celcius (1,5°C), merupakan nilai yang cukup besar yang dapat mempengaruhi kenyamanan dan kesehatan manusia di sekitarnya.

Kasus II
Pengamatan UHI di Kota Jakarta dan sekitarnya oleh Zulfikar et al., 2022. Pengamatan menggunakan 6 titik stasiun cuaca di Jakarta dan sekitarnya menggunakan data tahun 1993 - 2018 berupa suhu udara dan kelembapan udara harian, yang dihubungkan dengan data indeks ENSO (El Niño-Southern Oscillation) sebagai indikator kejadian El Niño, La Niña ataukah Netral serta dihubungkan dengan THI (Thermal Heat Index).

Saat Netral

Saat El Niño

Saat La Niña


Gambar 10. Hasil penelitian Zulfikar et al., 2022 : Pengurangan UHI Urban dan Rural, Hubungan intensitas UHI dengan perbedaan THI


Hasil penelitian menunjukkan intensitas UHI di Jakarta 0,2°C sampai dengan 3,2°C, dengan lebih tinggi di daerah Urban dibandingkan sekitarnya, Hubungan antara intensitas UHI dengan perbedaan THI menunjukkan nilai yang positif tinggi dengan korelasi antara 0,7 sampai dengan 0,986. Kenaikan 1°C pada intensitas UHI akan menaikkan beda THI sebesar 0,9 pada saat El-Nino, La-Nina, atau Netral. 

Penginderaan Jauh

Penelitian tentang UHI juga banyak dilakukan oleh berbagai peneliti di dunia dengan menggunakan penginderaan jauh. Penggunaan informasi dari penginderaan jauh akan sangat berguna untuk menjelaskan dampak dari UHI (Zhou et al., 2010). Citra dari penginderaan jauh dengan resolusi spasial sedang misalnya dari TM (Landsat Thematic Mapper) dan ASTER (Terra Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer). Pengamatan suhu permukaan menggunakan Citra Satelit Landsat juga dapat diaplikasikan pada metode UHI (Naf dan Hernawati, 2018). UHI dapat diamati sebagai suatu fenomena atau kejadian peningkatan suhu udara di wilayah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan mencapai suhu 3-10°C.

Di sisi lain, sensor dengan resolusi temporal tinggi, seperti Moderate-Resolution Imaging Spectrora-diometer (MODIS) pada satelit Terra dan Aqua serta Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) pada satelit. Satelit NOAA, memberikan kemungkinan untuk memantau variasi UHI pada skala temporal yang berbeda. Para peneliti telah menemukan bahwa UHI memperoleh gambaran yang jelas pada skala diurnal, bulanan, dan musiman.

Penerapan data/teknik Penginderaan Jauh bisa juga dengan menggunakan sensor termal pada satelit atau drone sehingga memungkinkan dilakukan estimasi Suhu Permukaan Tanah (Land Surface Temperature/ LST). 

Contoh Penelitian dengan Penginderaan Jauh

Kasus III
Menurut Putra et al., 2021, mendeteksi UHI dengan peningkatan suhu permukaan menggunakan data penginderaan jauh melalui Landsat dan data tata guna lahan di Kota Jakarta. Dengan asumsi daerah yang terdampak UHI suhu permukaan lebih dari 30°C, memperlihatkan adanya peningkatan luasan UHI sejak tahun 2008 hingga 2018. Luasan UHI mulai dari 36,5% (2008), 84,7% ((2013) dan 93,7% (2018). Studi ini menyatakan  lahan yang banyak dipergunakan (untuk perumahan, komersial dan jasa, industri dan fasilitas pergudangan dan transportasi) diidentifikasi peningkatan UHI lebih signifikan.  Kajian ini direkomendasikan untuk dilanjutkan dengan menggali lebih dalam faktor-faktor lain seperti kepadatan penduduk, intensitas dan intensitas bangunan serta jenis kegiatan sosial ekonomi pada masing-masing penggunaan lahan.
Gambar 11. Pengamatan UHI di Kota Jakarta

Kasus IV
Menurut Rahmadanti et al., 2022, UHI dapat diektraksi dari citra penginderaan jauh melalui suhu permukaan lahan di Kota Banjarbaru. Dengan memanfaatkan data citra satelit yang diekstraksi dengan menurunkan data suhu permukaan lahan atau Land Surface Temperature (LST) dengan indeks vegetasi, dapat menghasilkan data sebaran UHI. Informasi ini dapat menjelaskan daerah yang terindikasi UHI. 

Gambar 12. Contoh pengolahan data UHI di Kota Banjarbaru (Rahmadanti et. L., 2022)


Penggunaan Google Earth Engine

Penggunaan Google Earth Engine dapat menghemat waktu pengolahan dan memungkinkan pengguna untuk mengolah data berukuran besar yang sebelumnya hanya bisa menggunakan komputer berkapasitas prosesing tinggi. Identifikasi karakterisasi dapat dilakukan secara spasial melalui teknik penginderaan jauh. perkembangan dari teknik penginderaan jauh ditandai dengan pemrosesan citra berbasis cloud dimana penyimpanan berupa hardisk dan memori membuat tidak fleksibel dan sangat terbatas dalam pemrosesan. Pemrosesan berbasis cloud saat ini yang populer adalah menggunakan Google Earth Engine (GEE) (Darmawan dan Al Barry, 2022). Menggunakan aplikasi GEE, kita dapat menghemat waktu tak perlu komputer dengan kapasitas yang besar, karena tak usah mengunduh. Yang diperlukan akses internet agar tetap dapat mengakses Google Earth Engine. Materi GEE dan UHI akan kami jelaskan pada postingan yang selanjutnya.

Berikut tutorial penggunaan GEE untuk analisis UHI.




Global Surface Explorer

Global Surface Explorer adalah aplikasi web interaktif untuk memantau intensitas UHI di hampir semua kluster perkotaan di Bumi. Aplikasi ini dibangun dengan platform GEE dan memungkinkan pengguna untuk menanyakan data UHI daerah perkotaan menggunakan interface yang sederhana. Dataset UHI dibuat berdasarkan algoritma tingkat perkotaan yang disederhanakan (SUE) yang dirinci dalam Chakraborty dan Lee, 2019. Dengan 1 km resolusi yang diturunkan dari kombinasi MODIS TERRA dan AQUA Land Surface Temperature (LST). Anda dapat mencoba menandai daerah anda  Linknya di sini.


Gambar 13. Tampilan pengolahan analisis UHI dengan Global Surface Explorer dengan basis GEE

Mitigasi terhadap UHI

Mitigasi terhadap UHI yang paling penting yaitu bagaimana menjaga kesejukan di daerah sekitar kita. Ada berbagai tindakan mitigasi yang dapat dilakukan mencegah UHI. Berdasarkan penelitian para ahli, efek UHI dipengaruhi oleh berbagai variabel, lokal, regional dan global. UHI dapat diatasi dengan berbagai cara mitigasi. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan:
  • Peningkatan kualitas dan jumlah vegetasi. Penambahan vegetasi di daerah perkotaan dapat membantu mengurangi UHI dengan menyerap panas dan mengurangi suhu udara. Pohon, taman, dan tanaman hijau dapat membantu mengurangi efek pemanasan di daerah perkotaan. Pepohonan pada ruang terbuka hijau (RTH) di kawasan perkotaan memberikan berbagai kontribusi kepada ekosistem, meliputi konservasi biodiversitas, menghilangkan polutan atmosfer, menyediakan oksigen, mengurangi kebisingan, mitigasi terhadap UHI, pengendali iklim mikro, menjaga kestabilan tanah, dan fungsi ekologis lainnya. Pengurangan atau penambahan ruang terbuka hijau menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara (Effendy et al., 2006).
 
Gambar 14. Penanaman pohon dan RTH
  • Perbaikan bangunan. Bangunan yang dirancang secara cerdas dapat membantu mengurangi UHI. Bangunan yang dirancang dengan atap dan dinding yang reflektif dapat membantu mengurangi jumlah panas yang diserap dan disimpan. Ventilasi dan desain yang efisien juga dapat membantu mengurangi suhu ruangan dan memperbaiki sirkulasi udara.
  • Pengurangan permukaan berwarna gelap. Permukaan berwarna gelap seperti jalan raya, parkir dan atap dapat menyerap dan memancarkan panas yang lebih banyak. Memperbaiki permukaan dengan bahan berwarna terang dapat membantu mengurangi efek pemanasan. Penggunaan material bangunan dan perkerasan yang tidak menahan panas (nilai albedo tinggi).
Gambar 15. Perbandingan pemantulan pada berbagai warna atap (hitam, metal dan putih)
  • Pengurangan polusi. Polusi udara dan lalu lintas dapat memperparah efek UHI. Mengurangi emisi kendaraan dan memperbaiki kualitas udara dapat membantu mengurangi suhu udara.
  • Penggunaan material yang ramah lingkungan. Menggunakan material bangunan yang ramah lingkungan dapat membantu mengurangi suhu ruangan. Bahan seperti kaca reflektif dan genteng berlapis dapat membantu mengurangi suhu di dalam bangunan.
  • Perencanaan kota yang baik. Perencanaan kota yang baik dapat membantu mengurangi efek UHI dengan merancang lingkungan perkotaan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Hal ini termasuk mengatur tata letak bangunan dan ruang terbuka hijau, memperbaiki akses transportasi massal dan mendorong penggunaan sepeda dan jalan kaki.
Gambar 16. Berbagai tindakan mitigasi untuk mengurangi UHI (Ichinose et al., 2008)




Daftar Pustaka

Internet






Jurnal

Chakraborty, T and Lee, X. 2019. A simplified urban-extent algorithm to characterize surface urban heat  islands  on  a  global  scale  and  examine  vegetation  control  on  their spatiotemporal variability. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 74: 269-280. 

Darmawan S, Al Barry T. S. 2022. Analisis Fenomena Urban Heat Island menggunakan Google Earth Engine (Studi kasus: Jawa Barat, Indonesia)  Prosiding FTSP Series 3 : 261-270

Effendy S, Bey A, Zain AFM, Santosa I. 2006. Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Mengendalikan Suhu Udara dan Urban Heat Island Wilayah Jabotabek (The Role of Urban Green Space in Harnessing Air Temperature and Urban Heat Island Exemplied by Jabotabek Area). J Agromet Indonesia (20): 23-33.

Effendy S. 2009. Dampak Pengurangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan Terhadap Peningkatan Suhu Udara dengan Metode Pengindraan Jauh. Jurnal Agromet Indonesia. 23 (2): 169-181

Hermawan, E. 2015. Fenomena Urban Heat Island (UHI) pada Beberapa Kota Besar di Indonesia Sebagai Salah Satu Dampak Perubahan Lingkungan Global. J Citra Widya Edukasi (1) : 33 - 45.

Ichinose, T., Matsumoto, F. & Kataoka, K. 2008. Chapter 15-Counteracting Urban Heat Islands in Japan. In: Droege, P. (Ed.), Urban Energy Transition. Elsevier, Amsterdam : 365-380.

Kim, SW and Brown, RD. 2021. Urban Heat Island (UHI) intensity and magnitude estimations: A systematic literature review. In Science of the Total Environment (Vol. 779).

Naf, MZT and Hernawati, R. 2018. Analisis fenomena UHI (Urban Heat Island) berdasarkan hubungan antara kerapatan vegetasi dengan suhu permukaan. ITB Indonesian Journal of Geospatial. 5. (1) : 25–36.

Oke, TR. 1995. The heat island of the urban boundary layer: Characteristics, causes and effects. In J. E. Cermak, A. G. Davenport, E. J. Plate, & D. X. Viegas (Eds.), Wind climate in cities : 81 - 107

Rahmadanti R,  Jauhari A, Mufidah A, 2022. Persebaran Urban Heat Island di Kota Banjarbaru Menggunakan Penginderaan Jauh (Distribution of Urban Heat Island at Banjarbaru using Remote Sensing). Jurnal Sylva Scienteae 5 (2), 194-202.

Tursilowati, L. 2002. Urban Heat Island dan Kontribusinya Pada Perubahan Iklim dan Hubungannya dengan Perubahan Lahan. Prosiding Seminar Nasional Pemanasan Global dan Perubahan Global Fakta, Mitigasi, dan Adaptasi (89-96). Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN.

Voogt, JA. 2000. How Researchers Measure Urban Heat Islands. Department of Geography, University of Western Ontario, London.

Voogt, J.A. and Oke, T.R. 2003 Thermal Remote Sensing of Urban Climates. Remote Sensing of Environment (86), 370-384.

Zhou, J. Li and J. Yue, 2010. Analysis of urban heat island (UHI) in the Beijing metropolitan area by time-series MODIS data.  IEEE International Geoscience and Remote Sensing Symposium, 2010. 3327-3330.

Zulfikar MF, Virgianto RH, Ksrtika QA. 2022. Pengaruh Urban Heat Island terhadap Kenyamanan di Jakarta dan Sekitarnya Tahun 1993-2018. The Climate of Tropical Indonesia Maritime Continent Journal, Edition April 2022. (1) : 34-58.

Video

https://youtu.be/bwHX7Gxw8_k diakses 20 April 2022

https://youtu.be/E1LyuxX7hRI diakses 20 April 2022




Tidak ada komentar: