Rabu, 29 November 2023

FAKTOR REGIONAL DAN GLOBAL YANG MEMPENGARUHI CURAH HUJAN DI INDONESIA DAN KALIMANTAN SELATAN

Gambar 1. Faktor regional dan global yang mempengaruhi hujan di Indonesia

Faktor Regional dan Global Hujan di Kalimantan Selatan

Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah tropis, di antara Benua Asia dan Australia, di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta dilalui garis khatulistiwa, terdiri dari pulau dan kepulauan yang membujur dari barat ke timur, terdapat banyak selat dan teluk, dikelilingi oleh luasnya lautan menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap variabilitas iklim. Faktor pengendali variabilitas iklim yakni adanya interaksi antara atmosfer, lautan, dan daratan. Perubahan kondisi parameter laut di Samudra Hindia maupun Samudra Pasifik berpengaruh terhadap kondisi atmosfer di atas Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan yang terletak di tengah Indonesia.

Interaksi daratan dan lautan sangat berpengaruh bagi hujan di Kalimantan Selatan. Lautan memiliki peranan penting terhadap kondisi atmosfer berkaitan dengan sifat fisis air laut yang berupa fluida, mempunyai kapasitas panas yang besar dan albedo yang kecil. Lautan menyimpan energi dari matahari, mentransferkan panas dan kelembapan ke atmosfer. 

Ada beberapa faktor dominan yang mengendalikan hujan di Indonesia, antara lain (Gambar 1) : 
  1. El Nino/ La Nina di Samudera Pasifik
  2. Suhu Muka Laut Indonesia
  3. IOD (Indian Ocean Dipole) di Samudera Hindia
  4. Monsun (Monsun Asia dan Monsun Australia)
  5. Variabilitas intrasesonal dan Gelombang Atmosfer (antara lain MJO, Rossby dan Kelvin)

Gambar 2. Posisi IOD dan ENSO


Faktor-Faktor Pengendali Curah Hujan

Curah hujan di Indonesia merupakan unsur iklim yang penting karena bervariasi antar wilayah dibandingkan dengan yang lainnya. Curah hujan rata-rata tahunan bervariasi menurut tempatnya, diantaranya Kalimantan Selatan. Faktor fenomena global dari bagian Timur seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang bersumber dari wilayah Ekuator Pasifik Tengah dan dari bagian barat yaitu Indian Ocean Dipole (IOD) yang bersumber dari wilayah Samudera Hindia barat Sumatera hingga timur Afrika (Gambar 1). Keragaman iklim juga dipengaruhi oleh fenomena regional, seperti sirkulasi angin monsun Asia-Australia, Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis atau Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang merupakan daerah pertumbuhan awan, serta kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah Indonesia (Gambar 2). Kondisi topografi wilayah Indonesia yang memiliki daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan topografi lokal yang menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia, baik menurut ruang (wilayah) maupun waktu. Kondisi Kalimantan Selatan secara lokal iklimnya dipengaruhi oleh Pegunungan Meratus yang terletak membentang di tengah-tengah Kalimantan Selatan.

Kondisi global dan regional juga mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Variasi hujan yang terjadi dapat dalam variasi intra-seasonal (dalam satu musim atau pada skala lebih pendek) ataupun inter-seasonal (antar dua musim atau pada skala yang lebih panjang).

Adapun faktor-faktor global dan regional yang dominan menjadi pengendali curah hujan di Kalimantan Selatan adalah :

1. Monsun Asia dan Australia

Monsun adalah penentu utama iklim di Indonesia. Iklim monsun atau musim adalah iklim yang terjadi karena pengaruh angin monsun yang berganti arah tiap setengah tahun sekali. Angin monsun bisa mengakibatkan terjadinya musim hujan dan kemarau di Asia Tenggara, Indonesia dan juga Kalimantan Selatan. Wilayah Indonesia terletak di antara 2 benua (Asia dan Australia) dan di antara 2 samudera (Pasifik dan Hindia). Indonesia termasuk ke dalam wilayah monsun yang ditentukan oleh indeks monsun.
Gambar 3. Ilustrasi angin monsun barat dan timur


Proses pergerakan arah angin permukaan tersebut secara berkala saling berkebalikan,   berdampak terhadap perubahan curah hujan karena perbedaan pemanasan dalam skala luas antara dua wilayah yang berdekatan, dimana periode yang satu dengan yang lainnya memiliki pola arah angin yang saling berlawanan.

Angin Monsun Barat atau Monsun Asia merupakan pergerakan angin utara dan baratan yang kaya dengan uap air/basah yang berdampak wilayah Indonesia memasuki musim hujan, Periode Desember-Februari. Angin monsun barat terjadi karena tekanan udara di Asia lebih tinggi daripada di Australia yang tekanan udaranya lebih rendah sehingga terjadi pergerakan angin dari Asia ke Australia, melewati Indonesia.

Angin Monsun Timur atau Monsun Australia merupakan pergerakan angin selatan/tenggara dan timuran yang identik dengan udara kering yang berdampak wilayah Indonesia didominasi musim kemarau, Periode Mei-Oktober. Angin monsun timur terjadi karena tekanan udara  di Australia daripada di Asia, sehingga terjadi pergerakan angin dari Australia ke Asia melewati Indonesia.

Indeks Monsun Asia (WNPMI : Western North Pacific Monsoon Index), secara klimatologis/rata-rata periode 30 tahunan arah angin dapat digambarkan seperti grafik klimatologis indek monsun, nilai indek negatif menggambarkan arah dari Asia memasuki wilayah Indonesia dan sebaliknya nilai indeks positif menggambarkan arah keluar dari Indonesia menuju Asia/ke utara.

Indeks Monsun Australia (AUSMI : Australia Monsoon Index), secara klimatologis arah angin dapat digambarkan seperti grafik klimatologis di atas. Nilai indeks negatif menggambarkan arah angin timuran/ dari timur, sedangkan nilai indek positif menggambarkan arah angin baratan/ dari barat.

Gambar 4. Indeks monsun Asia dan monsun Australia
Sumber : https://www.bmkg.go.id/iklim/dinamika-atmosfir.bmkg


Karena pengaruh monsun Asia dan Australia, menyebabkan variasi iklim secara musiman dan bergantian di Indonesia.

2. ENSO (El Nino – Southern Oscillation)

ENSO adalah fenomena iklim global yang diukur berdasarkan kondisi naik atau turunnya suhu permukaan air laut Samudera Pasifik di sekitar equator bagian tengah dan timur dari kondisi normalnya.

Peristiwa El Nino dan La Niña (keduanya disebut sebagai ENSO) didorong dengan peristiwa yang terjadi di Samudera Pasifik sekitar equator bagian tengah dan timur. ENSO dapat dikategorikan menjadi tiga fase. Ketiga fase tersebut yaitu fase Normal, fase El Nino dan fase La Niña.

Saat keadaan Normal, disebut juga fase netral saat tidak terjadi kejadian La Niña atau El Nino. Dalam kondisi normal, angin pasat (trade winds) berhembus secara konstan ke arah barat dari kawasan Pasifik timur sepanjang ekuator (Gambar 5). Hembusan angin pasat ini dikenal sebagai Sirkulasi Walker timuran, yang menghasilkan juga arus laut mengarah ke barat. Pasifik barat tropis lebih hangat daripada Pasifik timur, akibatnya angin equatorial berhembus ke arah barat membantu konveksi di Pasifik barat dan subsidensi di Pasifik timur. Pada fase ENSO netral atau normal, suhu muka laut, pola hujan kawasan tropis dan sirkulasi atmosfer berada dalam kondisi rata-ratanya.

Gambar 5. Fase netral ENSO
Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/enso/

Pada keadaan normal, sirkulasi ini ditandai oleh dua fenomena alam. Pertama, kenaikan udara di Samudera Pasifik bagian barat dekat Indonesia. Saat fase netral bagian bawah atmosfer aliran udara bergerak dari timur ke barat. Kedua, penurunan udara di Samudera Pasifik bagian timur lepas pantai Amerika Selatan. Pada bagian atas atmosfer, aliran udara bergerak dari barat ke timur, karena adanya konvergensi pada area laut yang hangat di barat Pasifik. Konvergensi tersebut mendorong pembentukan hujan pada kawasan tersebut termasuk Indonesia. Sirkulasi Walker ini digambarkan sebagai tekanan jungkat-jungkit yang disebut Osilasi Selatan. Fase normal berarti menandakan tidak adanya anomali atas suhu muka laut dari daerah barat dan timur Samudera Pasifik. Kondisi normal ini juga mendorong terjadinya upwelling atau kenaikan air laut yang dingin dan kaya nutrisi di Pantai Utara Pasifik, Amerika Selatan.

Saat La Niña, peristiwa anomali iklim yang ditandai dengan terjadinya penurunan (pendinginan) suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur atau suhu udara (disebut juga sebagai fase dingin ENSO). Angin Pasat yang bertiup dari timur ke barat menguat maka di Pasifik Timur suhu muka laut menjadi lebih dingin. Adanya kekosongan massa air laut yang berpindah ke barat, diisi oleh massa air laut yang lebih dingin dari bagian bawah lautan Pasifik Timur. Saat La Niña aliran dari timur ke barat lebih kuat dibandingkan saat fase netral. Pendinginan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di sana dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.

Gambar 6.Fase La Nina


Saat El Nino, peristiwa anomali iklim yang ditandai dengan terjadinya peningkatan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur (disebut juga sebagai Fase hangat ENSO). Angin Pasat yang bertiup dari timur ke barat melemah. Melemahnya angin Pasat timur karena meningkatnya suhu di Pasifik bagian timur. Di Indonesia curah hujan cenderung berkurang, sementara di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur curah hujan cenderung meningkat. Fase El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Gambar 7. Fase El Nino



Untuk memonitoring fenomena ENSO digunakan beberapa indeks, diantaranya ONI (Oceanic Nino Index) dan SOI (Southern Oscillation Index). ONI didasarkan pada Suhu Permukaan Laut (SPL) dari rata-rata di wilayah Nino 3.4 rata-rata 3 bulanan berjalan (Gambar 8), sedangkan penentuan indeks SOI didasarkan pada perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Tahiti dan Darwin (Gambar 1).

Gambar 8. Daerah Nino 3.4


3. IOD (Indian Ocean Dipole)

IOD merupakan fenomena naik atau turunnya suhu permukaan laut di wilayah Samudera Hindia, perbandingan antara wilayah perairan Timur Afrika dengan perairan selatan ekuator Indonesia bagian barat. Selisih perbandingan Indeks/Gradien antar dua lokasi ini dinamakan sebagai DMI (Dipole Mode Index). Bila nilai DMI positif maka, fenomena tersebut dianggap sebagai IOD positif dan bila nilai indeksnya negatif, maka hal itu dianggap sebagai IOD negatif. IOD memiliki 3 fase yaitu fase netral, fase positif dan fase negatif. Fenomena IOD ini merupakan interaksi antara atmosfer dan lautan yang menyebabkan variabilitas iklim antar tahunan di Samudera Hindia dan mempengaruhi iklim daerah sekitar Samudera Hindia.

Dua daerah yang menunjukkan anomali suhu permukaan laut terletak di ekuator bagian tenggara Samudera Hindia di sekitar Sumatera dan selatan Jawa yang disebut sebagai SETIO (Southern Tropical Indian Ocean) dan juga ekuator tropis bagian barat Samudera Hindia yang disebut juga WTIO (Western Tropical Indian Ocean).


Gambar 9. Posisi Anomali Suhu Permukaan Laut SETIO dan WTIO untuk penentuan indeks IOD

Fase positif IOD ditandai dengan suhu permukaan laut dingin di perairan timur Samudera Hindia dan hangat di perairan barat Samudera Hindia (Gambar 10). Sebaliknya, pada saat fase negatif IOD ditandai dengan suhu permukaan laut dingin di perairan barat Samudera Hindia dan hangat di perairan timur Samudera Hindia (Gambar 9).


Gambar 10. Fase IOD netral
Sumber : http://www.bom.gov.au/climate/iod/

IOD netral terjadi Sirkulasi Walker di bagian dekat permukaan akan mengalir dari Samudera Hindia ke atas perairan Indonesia karena suhu muka lautnya sedikit lebih hangat.

IOD positif terjadi apabila suhu muka laut Samudera Hindia Barat lebih besar daripada suhu muka laut Samudera Hindia Timur. Kondisi tersebut menimbulkan angin timur bergerak kuat ke Samudera Hindia Barat, sehingga curah hujan di Afrika berada di atas normal, sementara di Indonesia di bawah normal. Fase positif IOD ditunjukkan oleh nilai indeks yang berada lebih dari +0,35. Fase positif dari fenomena IOD ini berdampak pada kekeringan di Indonesia bagian barat, Australia dan sekitarnya, diakibatkan rendahnya curah hujan yang diterima (termasuk di Kalimantan Selatan). Sementara, proses konveksi yang biasanya terjadi di atas Samudera Hindia bagian timur yang menghangat bergerak ke arah barat menyebabkan peningkatan hujan di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat.


Gambar 11. Fase IOD positif

IOD negatif terjadi apabila suhu muka laut Samudera Hindia Barat lebih kecil daripada suhu muka laut Samudera Hindia Timur. Kondisis tersebut menimbulkan angin barat bergerak kuat ke Samudera Hindia Barat, sehingga curah hujan di Afrika berada di bawah normal, sementara di Indonesia di atas normal. Fase negatif dari fenomena ini ditunjukkan oleh nilai indeks yang kurang dari -0,35. Fase negatif dari IOD berdampak pada curah hujan yang tinggi di sekitar wilayah timur Samudra Hindia seperti Indonesia bagian barat dan Australia (termasuk di Kalimantan Selatan). Hal itu disebabkan oleh meningkatnya suhu air di permukaan laut di wilayah perairan selatan Indonesia dan perairan barat laut Australia, sehingga menyebabkan evaporasi yang tinggi di wilayah perairan tersebut dan berakibat tingginya tingkat curah hujan di wilayah Indonesia dan Australia.

Gambar 12. Fase IOD negatif 


4. Anomali Suhu Permukaan Laut (SST : Sea Surface Temperature

Suhu permukaan laut adalah suhu pada ketinggian milimeter di atas permukaan laut. Anomali suhu permukaan laut adalah perbedaan suhu laut di suatu lokasi pada waktu tertentu dengan suhu normal tempat itu. Suhu permukaan laut yang diamati di sekitar Kalimantan Selatan yang diindikasikan berpengaruh bagi curah hujan antara lain di Laut Jawa dan Selat Sulawesi (Gambar 14).

Suhu permukaan laut diasosiasikan sebagai indeks banyaknya uap air pembentuk awan di atmosfer. Jika suhu permukaan laut panas maka uap air di atmosfer banyak akibat proses konveksi atau penguapan. Sebaliknya, jika suhu permukaan laut dingin maka uap air di atmosfer menjadi berkurang akibat kurangnya penguapan.

Anomali positif di sekitar Kalimantan Selatan diberikan warna merah atau nilai anomali positif yang memberikan dampak terhadap potensi penambahan tingkat penguapan di wilayah tersebut, menunjukkan potensi peningkatan hujan (Gambar 13). Sedangkan, anomali negatif diberi warna biru yang berkorelasi dengan rendahnya tingkat penguapan yang berdampak rendah, menunjukkan potensi hujan yang lebih kecil.


Gambar 13. Anomali Suhu Muka Laut di Indonesia
Sumber : https://www.bmkg.go.id/iklim/dinamika-atmosfir.bmkg




Gambar 14. Anomali Suhu Muka Laut di sekitar Kalimantan Selatan
Sumber : pengolahan reanalisis dengan https://extreme.kishou.go.jp/


5. MJO (Madden-Julian Oscillation)

MJO (Madden-Julian Oscillation) adalah fluktuasi musiman atau gelombang atmosfer yang terjadi di kawasan tropis, MJO berkaitan dengan variabel cuaca penting di permukaan ataupun di lautan pada lapisan atas dan bawah. MJO mempunyai siklus sekitar 30-60 hari, merupakan sistem osilasi interaksi antara atmosfer dan laut yang penjalarannya bergerak dari barat ke timur di sekitar wilayah Indonesia. MJO berkaitan dengan penambahan gugusan uap air yang mendukung pembentukan awan hujan. Fenomena ini terkait dengan variasi angin, perawanan, curah hujan, suhu muka laut, dan penguapan di permukaan laut pada skala ruang yang luas. MJO merujuk pada variasi intra-seasonal, yaitu perubahan yang terjadi pada waktu pendek (yaitu dalam suatu musim atau dalam jangka waktu yang lebih pendek daripada musim tersebut).

MJO mempunyai dua fase yaitu fase aktif dan fase tidak aktif. Saat fase aktif  di sekitar Kalimantan Selatan, menyebabkan peningkatan curah hujan. Fase ini sering kali disertai dengan cuaca lembap, banyaknya perawanan dan hujan yang lebih sering serta dapat menyebabkan hujan lebat disertai petir dan potensial banjir. Ketika MJO aktif, akan terjadi peningkatan kecepatan angin secara signifikan terutama pada lapisan bawah 850 mb (Haryanto et at., 2022). MJO sangat mempengaruhi tingkat curah hujan yang terjadi di wilayah ekuator Kalimantan yang merupakan tempat terbentuknya awan konvektif (Yana et al., 2014). Sebaliknya, saat fase tidak aktif, Kalimantan mungkin mengalami cuaca yang lebih kering dan stabil. Hujan cenderung berkurang, dan daerah tersebut berpotensi mengalami kekeringan. 

MJO dapat dideteksi menggunakan diagram fase yang menunjukkan lokasi harian MJO dan kekuatan fasenya. Setiap bagian diagram mewakili wilayah geografis, semakin jauh titik dari pusat, semakin kuat kejadian MJO. Apabila berada di dalam lingkaran menunjukkan fase tidak aktif.

MJO dapat diidentifikasi dan dimonitoring dengan memantau propagasi atau penjalaran awan berpotensi hujan yang cukup signifikan dengan arah pergerakan dari barat ke timur, dimulai wilayah barat Samudera Hindia di sekitar Afrika hingga melewati Benua Maritim Indonesia dan menghilang sinyalnya di Samudera Pasifik tengah atau timur. MJO dapat dipantau melalui diagram indeks RMM (Real-time Multivariate MJO) (Gambar 14). Diagram fase itu memplot nilai indeks RMM untuk menentukan lokasi dan intensitas kejadian MJO. Lokasi MJO dibagi menjadi 8 fase aktif (Gambar 14), yaitu mulai dari Afrika untuk fase 1 hingga Samudera Pasifik (Western Hemisphere) untuk fase 8. Wilayah Indonesia dan sekitarnya (Benua Maritim) ditunjukkan oleh fase 4 dan 5. Diagram fase menunjukkan di mana lokasi harian MJO aktif dan kekuatannya. Semakin jauh dari lingkaran atau titik pusat menunjukkan semakin besar kekuatannya.


Gambar 14. Diagram index RMM
Sunber : https://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/precip/CWlink/MJO/

MJO dapat juga dipantau menggunakan OLR (Outgoing Longwave Radiation). OLR adalah pengukuran radiasi inframerah yang dipancarkan dari permukaan bumi ke luar angkasa. Anomali OLR dapat merepresentasikan pergerakan MJO aktif yang berkaitan dengan aktivitas konveksi. MJO merupakan osilasi atmosferik yang berkaitan dengan perubahan pola awan, radiasi, dan hujan di wilayah tropis. Saat fase aktif MJO, terjadi peningkatan konveksi atmosfer, akibatnya, terdapat awan lebih tebal dan peningkatan hujan (Gambar 15). Hal ini mengakibatkan penurunan OLR (OLR negatif warna hijau pada gambar) karena lebih sedikit radiasi inframerah mencapai lapisan atas atmosfer. Sebaliknya, selama fase tidak aktif MJO, konveksi menurun, dan radiasi inframerah meningkat, sehingga OLR naik (OLR positif warna cokelat pada gambar). Peta OLR ini dapat dipantau observasi dan prakiraannya.

Gambar 15. Peta OLR untuk MJO. Di bagian kiri : observasi, Di bagian kanan : prakiraan

https://ncics.org/portfolio/monitor/mjo/

Gambar 16. Ilustrasi sederhana tentang proses MJO

https://www.abc.net.au/

Saat fase aktif MJO menyebabkan gerakan ke atas (upward) yang menyebabkan konvektif, kejadian hujan yang lebat hingga ekstrem karena MJO mendorong terjadinya awan, peningkatan hujan disertai petir.  Fase tidak aktif (suppressed phase) terjadi saat sebelum dan sesudah fase aktif. Fase tidak aktif terjadi gerakan ke bawah dalam skala besar di atmosfer yang menahan gerakan ke atas dan menyebabkan terjadinya kekeringan di daerah tersebut.

Sumber : 

Web :

https://www.abc.net.au/news/2020-12-11/madden-julian-oscillation-mjo-the-bearer-of-tropical-rain/12961346 diakses tanggal 10 November 2023

https://www.bmkg.go.id/iklim/dinamika-atmosfir.bmkg diakses tanggal 25 Oktober 2023

http://www.bom.gov.au/climate/enso/soi/ diakses tanggal 25 Oktober 2023

http://www.bom.gov.au/climate/iod/ diakses tanggal 25 Oktober 2023

https://www.climate4life.info/2018/11/memahami-fenomena-enso-el-nino-dan-la-nina.html diakses tanggal 27 Oktober 2023

https://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/precip/CWlink/MJO/ 29 Oktober 2023

https://extreme.kishou.go.jp/itacs5/analyze/form_auth 10 November 2023

https://ggweather.com/enso/oni.htm diakses tanggal 10 November 2023

https://iridl.ldeo.columbia.edu/maproom/ENSO/ENSO_Info.html diakses tanggal 23 Oktober 2023

https://ncics.org/portfolio/monitor/mjo/ diakses tanggal 23 Oktober 2023

https://www.ncei.noaa.gov/access/monitoring/enso/soi diakses tanggal 20 Oktober 2023

https://www.ncei.noaa.gov/access/monitoring/enso/sst diakses tanggal 20 Oktober 2023

https://origin.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ONI_v5.php diakses tanggal 23 Oktober 2023

http://simtaru.kalselprov.go.id/web/album_peta/1/semua/desc/ diakses tanggal 23 Oktober 2023

Jurnal :

Haryanto YD, Fajar B, Riama NF. 2021. Pengaruh Madden Julian Oscillation (MJO) terhadap Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-A di Laut Natuna. Jurnal Kelautan 14 (3) : 278 -283

Purwaningsih A, Anis TH, Dita FA. 2020. Kondisi Curah Hujan dan Curah Hujan Ekstrem Saat MJO Kuat dan Lemah: Distribusi Spasial dan Musiman di Indonesia," Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca,  21(2) : 85-94.

Yana SA, Ihwan MA. Jumarang, Apriansyah. 2014. Analisis pengaruh Madden Julian Oscillation, Annual Oscillation, ENSO dan Dipole Mode terhadap curah hujan di Kabupaten Kapuas Hulu. Prisma Fisika 2 : 31-34.

Tidak ada komentar: