Rabu, 31 Juli 2019

KEARIFAN LOKAL DALAM MENENTUKAN AWAL MUSIM KEMARAU UNTUK PERTANIAN DI LAHAN RAWA KALIMANTAN SELATAN

Gambar 1. Peta lahan rawa (Sumber : https://www.cifor.org/global-wetlands/)

Sistem pengetahuan lokal atau sering juga disebut indigenous knowledge atau local knowledge adalah konsep mengenai segala sesuatu gejala yang dilihat, dirasakan, dialami ataupun yang dipikirkan, diformulasikan menurut pola dan cara berpikir suatu kelompok masyarakat. Pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal-balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kearifan lokal yang hidup dan berkembang di wilayah lahan gambut Kalimantan, antara lain: (1) pemanfaatkan gerakan pasang surut air untuk irigasi dan drainase, (2) penentuan tanaman yang ditanam di sekitar pengairan, (3) konservasi air dengan sistem tabat, (4) sistem pemilihan lahan, (5) sistem penyiapan lahan dan pengolahan tanah, (6) sistem penataan lahan, (7) sistem pengelolaan kesuburan tanah, dan (8) cara petani dalam mengenali musim (Prayoga, 2016).

Kearifan lokal yang terkait dengan iklim adalah cara petani mengenali musim hujan dan musim kemarau melalui gejala alam. Informasi awal musim hujan sangat penting bagi pertanian. Salah satu indikator yang digunakan dalam menentukan waktu tanam adalah awal musim hujan (Surmaini dan Syahbuddin, 2016). Musim kemarau ditunggu karena bagi masyarakat tradisional untuk membuka lahan bagi kegiatan pertanian, dalam sistem perladangan yang mengandalkan curah hujan sebagai kebutuhan air tanaman.

Lahan rawa di Indonesia terdapat sekitar 33,4 juta tersebar di 16 provinsi, salah satunya Kalimantan Selatan. Lahan pasang surut dipengaruhi oleh gerakan air pasang surut laut ataupun sungai, sedangkan lahan rawa lebak lebih dipengaruhi oleh air setempat (water logging) dan air kiriman dari kawasan hulu (Wakhid dan Syahbuddin, 2013). Agroekosistem di Kalimantan Selatan terdiri atas lahan rawa pasang surut, lahan rawa lebak dan lahan kering. Maka penting sekali memahami kearifan lokal daerah kita dari segi iklimnya.

Tantangan yang dihadapi lahan rawa dari segi iklim adalah variabilitas iklim yaitu perubahan pola curah hujan, ketidakpastian kejadian iklim dan intensitas kejadian kekeringan (El Nino) atau kebasahan (La Nina) semakin rapat. Pergeseran awal dan akhir musim tanam akan berakibat negatif terhadap pola tanam dan produktivitas tanaman, khususnya tanaman pangan (Wakhid dan Syahbuddin, 2013). 

Lahan rawa pasang surut 

Lahan rawa pasang surut adalah tipe ekosistem lahan basah yang ciri utamanya dicirikan dengan rezim air yang utamanya adalah pengaruh pasang dan surut air sungai/laut sekitar. Fenomena pasang dan surut disebabkan gaya tarik bulan dan bumi. Pada saat bulan dan bumi berjarak terdekat, maka terjadilah pasang besar (spring tide), yaitu saat bulan penuh (purnama) dan bulan mati yang terjadi tanggal 1 dan 15 bulan Qomariyah. Sebaliknya terjadi surut,  saat jarak bulan dan bumi terjauh terjadilah surut (Noor dan Rahman, 2015).


Gambar 2. Mekanisme pasang surut yang dipengaruhi gaya tarik bulan


Lahan rawa pasang surut berdasarkan jangkauan air dibedakan 4 tipe luapan sebagai  berikut :
  1. Tipe A, lahan yang selalu terluapi air pasang baik saat pasang besar maupun kecil.
  2. Tipe B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar.
  3. Tipe C, lahan yang tidak pernah terluapi walaupun pasang besar. Air pasang mempengaruhi secara tidak langsung, kedalaman air tanah dari permukaan tanah kurang dari 50 cm.
  4. Tipe D, lahan yang tidak terluapi air pasang dan air tanahnya lebih dari 50 cm.
Gambar 3. Lahan berdasarkan tipe luapan A cocok padi; B cocok untuk padi, palawija, hortikultura; C cocok untuk palawija dan kebun dan tipe D untuk kebun atau konservasi jika gambutnya dalam. 

Lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan banyak terdapat di daerah Kabupaten Barito Kuala, sebagian daerah Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin. 

Beberapa kearifan lokal memprediksi musim kemarau di lahan rawa pasang surut sebagai berikut :

  1. Kolam perangkap ikan (beje) sudah surut. Beje adalah kolam penangkap ikan yang airnya dari sungai. Ikan-ikan masuk ke Beje beserta aliran sungai.  Saat orang mulai menangkap ikan dari Beje itulah saat kemarau tiba.
  2. Ikan banyak turun ke muara sungai. Saat hujan berkurang aliran sungai di hulu sungai mulai surut. Saat kemarau ikan bergerak ke muara karena di sana masih cukup air.
  3. Ikan sepat layang menggumpal di udara.
  4. Rontoknya daun-daun pepohonan. Banyak pepohonan merontokkan daun saat musim kemarau. Pohon Karet dan Pantung (Jelutung) sampai hanya menyisakan cabang dan rantingnya di musim kemarau. 
Aktifitas pertanian petani dayak Bakumpai terkait erat dengan lahan pasang surut. Dilihat dari segi geografis, lahan pertanian petani Bakumpai termasuk kategori rawa pasang surut tipe A, yakni lahan yang selalu terluapi oleh air pada saat pasang besar maupun kecil. Cara petani Bakumpai di lahan pasang surut mengenal musim terbagi atas dua macam, yaitu wayah pandang (musim kemarau) dan wayah danum (musim air). Wayah pandang berlangsung antara bulan November hingga April, masa pancaroba pada bulan Mei, sedangkan Wayah danum berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober. Perbedaan musim ini akan mempengaruhi aktivitas pertanian yang dilakukan.

Aktivitas pertanian petani Bakumpai seperti pengolahan lahan, pemilihan varietas padi, persemaian, proses penanaman padi, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan pasca panen dibagi ke dalam beberapa musim, yaitu : wayah manugal, wayah malacak, wayah maimbul, dan wayah getem.

Gambar 4. Siklus pertanian di lahan pasang surut orang Dayak Bakumpai

Pola kearifan lokal yang dimiliki petani Bakumpai, ternyata tidak hanya terletak pada kemampuan mereka dalam mengolah lahan, tetapi jika dicermati terdapat suatu siklus kehidupan antara pertanian dan aktivitas kerja lainnya. Misalnya, dalam mengolah lahan yang dilakukan turun-temurun, kearifan lokal didapatkan dari cara memanfaatkan rumput yang ditebas untuk dijadikan pupuk alami. Alat yang digunakan petani Bakumpai untuk memotong rumput, tidak sampai membalikkan permukaan tanah yang mempengaruhi kadar keasaman (Wahyu dan Nasrullah, 2011).

Pembuatan surjan dan tukungan di lahan pasang surut. Lahan pasang surut dapat ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan. Disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi lahan serta tujuan pemanfaatannya. Penataan lahan sistem surjan dalam usahatani di lahan rawa memegang peranan penting karena memiliki beberapa keuntungan : (1) intensitas penggunaan lahan meningkat, (2) beragam produksi pertanian dapat dihasilkan, (3) resiko kegagalan panen dapat dikurangi dan (4) stabilitas produksi dan pendapatan meningkat.

Keberhasilan usaha pertanian di lahan rawa sangat ditentukan oleh keberhasilan penerapan sistem tata air. H. Idak adalah perintis pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan nama sistem tata air mikro Haji Idak. Di atas areal tanah 6,4 Ha membuat kebun sawah percontohan beliau membuatnya. Sejak tahun 1982 dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian, masyarakat menerapkan sistem yang disebut Tamhi, kependekan dari Tata Air Mikro Haji Idak. Haji Idak adalah orang pertama yang mempopulerkan sistem tata air tersebut. Keuntungan dari sistem ini tanaman bisa dua kali setahun dipanen. Di samping itu, dengan sistem ini lahan tanam bisa sekaligus ditanami padi, buah-buahan, sayuran, dan palawija. Sistem ini sebagai percontohan bagi daerah pasang surut di berbagai daerah lain di Indonesia.



Gambar 5. Sistem pertanian surjan dan tukungan di lahan pasang surut

Lahan rawa lebak

Lahan rawa lebak adalah lahan yang pada periode tertentu (minimal satu bulan) tergenang air dan rejim ainya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun setempat maupun di daerah sekitarnya. Berdasarkan tinggi dan lama genangannya air rawa lebak dibedakan atas :

  1. Lahan lebak dangkal adalah lahan lebak yang tinggi genangan kurang dari 50 cm selama kurang dari 3 bulan.
  2. Lahan lebak tengahan adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya 50-100 cm selama 3-6 bulan.
  3. Lahan lebak dalam adalah lahan lebak yang tinggi genangan airnya lebih dari 100 cm selama lebih dari 6 bulan (Achmadi dan Las, 2006).


Gambar 6. Ilustrasi lahan rawa lebak  (Achmadi dan Las, 2006)

Gejala alam masih menjadi indikator utama dalam penentuan datangnya musim kemarau dan penghujan di lahan rawa lebak. Gejala alam di lahan rawa lebak yang menjadi tanda musim kering sebagai berikut :
  1. Apabila ikan-ikan mulai pergi meninggalkan kawasan lahan lebak (turun) menuju sungai tanda datangnya musim kering. Gejala ini biasanya pada bulan April – Mei, suhu air meningkat sehingga ikan turun mencari daerah berair dalam.
  2. Bila ketinggian air makin menyusut tapi ada ikan saluang yang bertahan, maka menunjukkan lahan lebak tidak akan kekeringan. Biasanya masih ada air sehingga kedalaman air di lahan lebak kembali meningkat, akibat turunnya hujan di lahan tersebut atau kiriman air di dataran tinggi melalui beberapa anak sungai.
  3. Bintang Karantika muncul di ufuk barat pada senja hari hingga sesudah waktu maghrib menandakan air di lahan lebak akan mulai kering. Kemunculan bintang ini di ufuk barat merupakan peringatan kepada petani untuk segera melakukan penyemaian benih tanaman padi (manaradak).
  4. Bintang Baur Bilah yang muncul di sebelah barat pertanda bagi datangnya musim kering dan dijadikan patokan dalam memperkirakan lama tidaknya musim kering. Baur Bilah adalah tiga buah bintang yang bersusun sejajar.
  5. Tingginya air pasang yang datang secara bertahap juga menjadi ciri yang menentukan lamanya musim kering. Apabila dalam tiga kali kedatangan air pasang (pasang-surut, pasang-surut dan pasang kembali), ketinggian air pasang pada tahapan pasang surut yang ketiga lebih tinggi dari dua pasang sebelumnya biasanya terjadi musim kering yang panjang. 
  6. Ada juga yang melihat posisi antara matahari dan bintang karantika. Apabila matahari terbit agak ke sebelah timur laut dibandingkan posisi karantika berarti akan terjadi kemarau panjang (landang).
  7. Burung putih seperti kuntul dan sejenis bangau mulai meletakkan telurnya di semak padang parupuk merupakan tanda air akan menyurut (rintak). Burung putih mengharapkan setelah telurnya menetas air akan surut sehingga anaknya mudah mencari mangsa (ikan).
  8. Ada pula petani yang meramalkan kemarau dengan melihat gerak asap (mamanduk). Apabila asap terlihat tegak (cagat) agak lama berarti kemarau akan panjang dan sebaliknya (Noorginayuwati & Rafieq 2007; Prayoga 2016).
Menurut Noorginayuwati dan Rafieq 2007, ciri alam sebagai pertanda akan datangnya air di lahan lebak yang diinformasikan oleh petani meliputi :
  1. Fenomena Kapat, yaitu saat suhu udara mencapai derajat tertinggi. Mengetahui waktu terjadinya kapat dapat menunjukkan bahwa air yang diletakkan dalam suatu tempat akan memuai. Kapat mengikuti kalender syamsiah (masehi) dan terjadi pada awal bulan Oktober. Empat puluh hari setelah terjadinya kapat air di lahan lebak akan dalam kembali (layap). Kapat berarti bertemu dengan hujan dan tidak lagi berharap panas.
  2. Setelah terjadinya fenomena Kapat, akan muncul fenomena lain berterbangannya benda yang disebut benang-benang. Munculnya benda putih menyerupai benang-benang yang sangat lembut yang berterbangan di udara dan menyangkut di pepohonan tiang-tiang tinggi sebagai tanda datangnya musim barat, yaitu tanda akan dalamnya kembali air di lahan lebak (layap). Fenomena alam ini biasanya terjadi Oktober sampai November.
  3. Apabila kumpai payung (papayungan) tumbuh di tanah agak tinggi mulai menguning dan rebah maka pertanda air akan dalam (basurung). Ada pula tumbuh-tumbuhan pacar halang berbuah kecil seperti butir jagung. Bila buahnya memerah (masak) dan mulai berjatuhan maka air mulai menggenangi lahan rawa. Kakuding, apabila tumbuhan ini berbunga dan bunganya mulai jatuh berarti air akan dalam. Bila eceng gondok (ilung) mulai berbunga maka air akan datang.
  4. Untuk menentukan lama tidaknya musim basah, petani menjadikan keladi lumbu (gatal) sebagai indikator. Bila tanaman ini mulai berbunga berarti saat pertengahan musim air dalam. Bila rumput pipisangan daunnya bercahaya agak kuning maka pertanda air akan lambat turun (batarik).
  5. Bila ikan-ikan yang masih ditemukan di lahan lebak mulai bertelur maka tanda air akan datang (layap). Biasanya terlebih dahulu ditandai dengan hujan deras, lalu ikan betok berloncatan (naik) melepaskan telurnya, setelah itu akan panas sekitar 40 hari lalu air akan datang dan telur ikan akan menetas.
Lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan tersebar di beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah dan Hulu Sungai Utara. Sebagian besar usaha padi dikembangkan dengan hanya bertanam sekali saat musim kering (banih rintak) dan sebagian kecil dapat bertanam dua kali setahun (banih surung dan banih rintak).  Di lahan rawa rebak petani umumnya mengusahakan tanaman padi, jagung, kacang tanah, kacang negara, umbi-umbian, kacang panjang, labu dan semangka. Sebagian juga sebagai pencari ikan, memelihara ikan dalam keramba serta memelihara ayam, itik dan kerbau rawa (Noorginayuwati dan Rafieq, 2007).


Gambar 7. Keadaan lahan rawa lebak saat musim hujan dan musim kemarau di Kalimantan Selatan

Informasi hujan di lahan rawa

Informasi hujan di daerah lahan rawa pasang surut dan lahan rawa lebak sangatlah berguna. Kearifan lokal pertanian terkait erat dengan produk BMKG dapat saling melengkapi dan menunjang. Peran penting informasi BMKG dapat digunakan sebagai dasar kegiatan usaha tani : jenis usaha tani, waktu tanam, pemeliharaan tanaman dan persiapan pencegahan dan pengendalian OPT.  Informasi iklim BMKG dapat terbagi menjadi 3 bagian yaitu informasi dasarian (10 harian), informasi bulanan dan informasi musiman.

 



Gambar 8. Produk hujan BMKG

Bagi petani lahan rawa mengetahui informasi dasarian berupa monitoring hari tanpa hujan berturut-turut sangat penting agar tahu apakah daerahnya telah mengalami kekeringan atau kebasahan. Analisis curah hujan dasarian juga diperlukan untuk mengetahui besarnya curah hujan dasarian dan acuan menentukan awal musim. Lahan rawa pasang-surut perlu mengetahui saat pasang naik dan curah hujan yang tinggi untuk mewaspadai kemungkinan banjir. Lahan rawa lebak di dataran lebih rendah, bukan hanya daerah yang bersangkutan diperlukan tetapi juga pos hujan terletak lebih tinggi di sekitar lokasi. Hal ini karena di musim hujan, banjir dapat terjadi karena kiriman air dari kawasan hulu. Prakiraan peluang probabilitas curah hujan bulanan untuk memprakirakan intensitas hujan manakah yang lebih berpeluang terjadi di daerah tersebut.







Gambar 9. Hujan di daerah lahan rawa pasang surut dan lebak yang berhubungan dengan kejadian banjir

Prakiraan musim kemarau dan musim hujan dapat digunakan oleh petani dengan beriringan kearifan lokal setempat. Melalui kearifan lokal petani melihat gejala alam yang menunjukkan masuknya awal musim  dan menentukan waktunya secara detil melalui data curah hujan yang dimilikinya.

Menentukan awal musim dapat beriringan dengan kearifan lokal setempat. Contoh : menentukan awal musim kemarau (AMK) di daerah lahan rawa lebak (Sungai Pandan, Kab. HSU) dan lahan rawa pasang surut (Anjir Pasar, Kab. Batola). Petani dapat menentukan awal musim kemarau (AMK) Anjir Pasar tahun 2017 akhir Juni (Juni III) dan  akhir Mei (Mei III) tahun 2018. Di Sungai Pandan AMK sama awal Juli (Juli I) tahun 2017 dan 2018. Jadi, awal musim kemarau di tahun yang berbeda dapat sama dan juga berbeda.



Gambar 10. Contoh penentuan awal musim kemarau


Informasi hujan untuk menentukan jadwal tanam


Gambar 11. Pola curah hujan

Analisis jadwal  tanam di daerah lahan rawa pasang surut mempertimbangkan pola curah hujan, mempertimbangkan Awal Musim Hujan (AMH) yang merupakan awal tanam, mempertimbangkan periode basah (di atas 100 mm/ bulan) dan menghindari periode kering ( di bawah100 mm/bulan). Prediksi lebih dari 100 mm/ bulan potensial penanaman padi, 75 s.d. 100 mm/bulan bera padi tapi dapat menanam palawija dan di bawah 75 mm/bulan hanya bera. Memperhitungkan juga sifat hujan (Atas Normal, Normal, Bawah Normal). Mempertimbangkan juga pasang surut air.

Analisis jadwal  tanam di daerah Lahan rawa lebak mempertimbangkan pola curah hujan, mempertimbangkan Awal Musim Kemarau (AMK) yang merupakan awal tanam, menghindari periode basah ( di atas 150 mm/ bulan), memanfaatkan awal periode kering (di bawah 150 mm/bulan) dan menghindari akhir periode kering setelah 1 musim tanam. Prediksi hujan kurang dari 150 mm/ bulan (periode kering) : periode 4-6 bulan potensial menanam padi, periode 3 bulan tak cukup untuk padi atau hanya bisa padi dalam dan periode di atas 6 bulan terlalu kering ditanamai, hanya bera. Memperhitungkan juga sifat hujan (Atas Normal, Normal, Bawah Normal). Mempertimbangkan juga  datang dan perginya air genangan (Pramudya, 2018).

Daftar Pustaka

Achmadi dan Las, I. 2006. Inovasi Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Lebak. dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan Pengembangan Terpadu Lahan Rawa Lebak, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra).  Banjarbaru :  21-36.

Noor, M dan Rahman, A. 2015.  Biodiversitas dan Kearifan Lokal dalam Budidaya Tanaman Pangan Mendukung Kedaulatan Pangan: Kasus di Lahan Rawa Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia : 1861-1867.

Noorginayuwati dan Rafieq, A. 2007. Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Lebak untuk Pertanian di Kalimantan Selatan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor.

Pramudya, A. 2018. Analisis Jadwal Tanaman Semusim untuk Mendukung Kalender dan Peningkatan Indeks Pertanaman 2018. Bimbingan Teknis Identifikasi Sumberdaya Air dan Pengelolaan Pola Tanam 20-22 Maret 2018. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.

Prayoga, K. 2016. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Kearifan Lokal di Pulau Kalimantan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 (3): 1016-1022.

Surmaini, E dan Syahbuddin. 2016. Kriteria Awal Tanam : Tinjauan Prediksi Waktu Tanam Padi di Indonesia. J. Litbang Pertanian 35 (2): 47-56.

Wahid, N dan Syahbuddin, H. 2013. Peta Kalender Tanam Padi Lahan Rawa Lebak di Kalimantan Selatan di Tengah Perubahan Iklim Global. Jurnal Ilmiah Geomatika 19(1):32-39.

Wahyu dan Nasrullah. 2011. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Komunitas. Vol.5 No.2 September.





1 komentar:

Denny Gunawan mengatakan...

Nice Kak infonya, sangat membantu. Sukses dan sehat selalu kak..
Perkenalkan juga saya Denny Gunawan mahasiswa ISB Atma Luhur..
ISB Atma Luhur